Showing posts with label Kasykul. Show all posts
Showing posts with label Kasykul. Show all posts

Friday, August 17, 2018

Dikeroyok Istri dan Mertua

Teman laki-laki berinisial A yang berharap pasca-menikah akan melewati serangkaian hari-hari yang menyenangkan dan menggairahkan bersama istrinya, tampaknya harus gigit jari. Jangankan menggairahkan, narasi yang sampai ke saya malah menyedihkan. Misalnya, tentang A yang "diteror" sebab tidak punya sepeda motor, belum bekerja, dugaan tidak punya malu sendenan ke harta melimpah milik mertua, dan masih banyak lagi. Mungkin bagi dia, hal ini menjadi terasa tambah menyesakkan manakala istri dan mertuanya main "keroyokan".

Jangan bandingkan dengan saya, yang kendati dianugerahi mertua yang kaya raya seperti mertua si A, dengan sawah belasan hektar, tapi mertua saya nerimo dan tidak pamrih. Manakala berbincang, bau-bau abap sufistik benar-benar tercium dari mulut mertua saya. Mereka nggak banyak nuntut. Mereka paham betul pelajaran akhlak soal adabul-mertua ilal-menantu (adab mertua kepada menantu).

Kecuali saya, panggung kehidupan si A hari-hari ini dipenuhi debat-debat kusir tak perlu dengan sang istri. Sepeda motor, penghasilan, dan pekerjaan, menjadi tema perdebatan di atas panggung itu. Saya ragu, apakah ini dapat dipersepsikan bahwa si A dengan istrinya sedang butuh hiburan sehingga melampiaskannya dengan cara debat, tidak dengan berbulan madu ke mana kek. Atau mungkin ini sejenis kelainan. Soalnya, saya sebagai tetangganya, kerap mendengarkan teriakan-teriakan yang saling bersahut-sahutan yang "membombardir" seisi rumahnya. Nyaris setiap hari.

Jangan anggap sepele lho ya. Saya khawatir menjadi cikal bakal perceraian. Mereka baru tiga bulan menikah.

Pandirnya, sekali lagi, pandirnya, si A beranggapan bahwa tindakan terbaik ketika istri nyerocos adalah memberikan cerocosan balasan. Ketika saya anjurkan mengapa tidak mengalah saja, toh mengalah belum tentu kalah, dia menjawab, "Sebagai pelajaran supaya dia tambah dewasa".

Namun, tentu saja, "dewasa" yang dia inginkan di sini sebenarnya tidak tercipta melalui sensasi debat. Panggung kehidupan pasutri pasca pernikahan mestinya diisi dengan saling mengalah, romantisme, dan diskusi yang sehat.

Sayang seratus sayang, sesuatunya tidak sederhana. Ada semacam kebingungan--mungkin ketakutan--dari si A, antara bekerja sendiri atau bekerja menjadi "karyawan"-nya mertua. Ada buah simalakama!

Untuk bekerja di luar kecamatan, sepeda motor tak punya. Dan jika nyangkul di sawahnya mertua, ya gimana. Dia tetap akan dicap sebagai suami yang tidak mandiri.

"Mas, apakah kamu nggak malu minta uang ke Bapak saya terus?"
"What?! Yang benar aja! Ini gajiku. Yang bekerja ya aku. Yang capek juga aku"
"Iya sih, tapi kapan kamu mau usaha sendiri, mas?"
"Loh, ini aku kan sudah usaha sendiri, dik!"
"Kamu usaha apa, mas?!"
"Nyangkul lah!"
"Nyangkul di sawahnya siapa, mas?"
"Di sawah!"
"Sawah milik siapa?"
"Di sawah!"
"Lah iya, sawahnya siapa?"
"Pokoknya sawah. Apa adik nggak denger?!"

Beginilah kira-kira cuplikan debat berbahasa Madura itu jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.

Orientasi pendidikan "dewasa" itu tadi mestinya ia konstruksi berdasarkan kesabaran, mengalah, dan sikap yang jauh dari unsur menggurui. Salah satu kekuatan manusia untuk meluluhkan hati adalah perbuatan baik disertai sikap kasih sayang. Namun sayang, kekuatan ini  terlupakan, atau mungkin tak ia ketahui, sehingga tidak terkapitalisasi ke dalam cara dia berinteraksi dengan istri.

Jangankan berkasih-sayang, cerocosan istrinya malah ia konversi ke dalam bentuk marah, pintu di mana debat dimulai. Melempar crocosan di tengah crocosan istri yang seharusnya dibalas, misalnya, dengan "politik diam", bukan saja tidak bijak, tetapi berpotensi mendegradasi kedewasaan, kewibawaan, dan kepemimpinan suami di mata istri dan mertua.

Ada pula spekulasi dari sebagian tetangga bahwa mertua dan istrinya tidak benar-benar bergairah mempunyai suami atau mantu macam si A. Dari pihak si A sebagai suami, tidak terdeteksi adanya "perlawanan". Si A itu lugu, manutan, dan rendah hati. Pihak keluarga istri lah yang selama ini memantik perdebatan sehingga menghasilkan "suara bom" dari dalam rumah.

"Pertarungan" si A melawan istri dan mertuanya, dan fakta bahwa ibu mertua yang cerewet sehingga putrinya ketularan cerewet, makin memperkuat spekulasi itu.

Saya tidak dapat membayangkan, bagaimana seandainya debat demi debat setiap hari tak kunjung usai seperti kacang goreng atau seperti berondongan gol Lionel Messi; bagaimana nasib kerongkongan; bagaimana bila berujung perceraian?

Resep saya, obat dari kisruh keluarga ini ada pada pemaparan Dale Carnegie dalam buku fenomenalnya, How to Win Friends and Influence People. Pada Bagian Satu tepatnya di 'Rahasia Besar dalam Berurusan dengan Manusia', Dale Carniege mengungkapkan bahwa secara mendasar, manusia membutuhkan dipenuhinya 'hasrat dianggap penting'. Hal ini senada dengan apa yang diungkapkan William James, "Prinsip paling dalam pada sifat dasar manusia adalah kebutuhan untuk dihargai."

Kebutuhan manusia akan kesehatan, makanan dan minuman, tidur, uang, dan kepuasan seksual, biasanya dapat dipuaskan. Tapi, satu kebutuhan yang jarang dipuaskan, yaitu apa yang diungkapkan Freud sebagai 'hasrat dianggap besar'. Karenanya, kita tak perlu heran manakala mendapati seseorang yang bahkan melakukan pekerjaan di luar pagar kewajaran nalar, tujuannya semata-mata agar hasrat dianggap pentingnya terpenuhi.

Beriringan dengan antusiasme pemenuhan hasrat dianggap penting, saya dan Anda bisa memahami betapa selama ini, baik si A, istri, dan mertuanya, belum menyingsingkan lengan untuk saling menghargai dan menganggap penting satu dengan yang lain.

Atau sebenarnya, mereka berusaha memenuhi kebutuhan dianggap penting mereka dengan mencari kepuasan dengan gontok-gontokan di dalam debat.

Jangan bandingkan dengan debat antar para calon petahana ketika mereka menjadi tesis-antitesis dalam seluruh aspek, gaya retorika, hingga gaya berbusana, demi unjuk kredibilitas dan kemampuan memimpin di mata para penonton yang tak lain adalah rakyat. Ini debat bermutu, yang semata-mata disuguhkan untuk rakyat. Sedangkan, debat si A versus mertua dan istrinya itu disuguhkan untuk siapa kalau bukan untuk egoisme dan egosentrisme?!

Ah, ya sudah lah. Semoga bisa menjadi pelajaran buat kita semua.

Wednesday, February 15, 2017

Tidak Diridhai Ibu, Disiksa Layaknya Pencuri


Pasukan Laut - Alkisah, ada seorang syekh yang ingin sekali pergi ke Mekah, hanya ibunya tidak meridainya. Meski demikian, ia tetap saja pergi. Melihatnya, Sang Ibu bergumam, “Ya Allah, sungguh ia telah membakarku dengan api perpisahan, berilah ia cobaan”.

Tuesday, February 14, 2017

Tips Shalat Khusyuk ala Hatim al-A'sham


Pasukan Laut - Hatim al-A'sham adalah salah satu tokoh sufi yang sangat khusyuk ketika salat. Hal itu didengar oleh Isham bin Yusuf. Karena penasaran, akhirnya ia mendatangi majelis Hatim al-A'sham untuk menanyakan sebab kekhusyukannya ketika salah, "Wahai, Abdurrahman, bagaimana engkau shalat?"