Monday, February 6, 2017

Mengapa Islam Lahir di Arab?


Kontributor: Badrus Sholeh SH
Pasukan Laut - Kita semua tahu bahwa agama Islam lahir lahir di Semenanjung Arab. Sebuah semenanjung barat daya Asia yang merupakan semenanjung terbesar. Dalam peta dunia, dengan luas mencapai kurang lebih seperempat wilayah Eropa, atau sepertiga wilayah Amerika, yaitu 2.745.900 km. Di samping itu, semenanjung Arab termasuk salah satu wilayah terkering dan terpanas, karena sebagian besar datarannya terdiri dari gurun pasir dan pegunungan tandus.

Yang menjadi pertanyaan banyak orang kemudian adalah, mengapa Allah–subhana-Hu wata’ala–memilih semenanjung gersang ini sebagai tempat kelahiran Islam? Mengapa tidak memilih belahan dunia lain? Mengapa Allah–subhana-Hu wata’ala–memilih bangsa Arab, yang waktu itu (abad ke-6 M), jauh terbelakang dalam hal peradaban, jika dibandingkan bangsa-bangsa lain di sekitarnya, seperti Romawi dan Persia, sebagai generasi pertama yang menerima risalah Muhammadiyyah? Mengapa tidak memilih bangsa yang berperadaban lebih maju saja?

Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan ini, kita terlebih dahulu perlu mengetahui bagaimana kondisi Arab dan peradaban-peradaban lainnya seperti Romawi, Persia, India, dan Yunani, yang ada pada masa pra kelahiran Islam. Tulisan ini akan fokus membahas tentang kondisi bangsa-bangsa tersebut ditinjau dari berbagai aspek kehidupan.

Persia
Waktu itu, Persia, yang merupakan salah satu negara adikuasa dunia–selain Romawi Timur (Bizantium) –adalah ladang subur berbagai khurafat keagamaan dan filsafat yang saling bertentangan. Salah satunya adalah Zoroaster yang menjadi keyakinan kaum penguasa. Di antara ajarannya adalah mengutamakan perkawinan dengan ibu kandung, anak perempuan, atau saudara perempuan sendiri. Sebab itu, kemudian Yazdajird II (yang memerintah pada pertengahan abad kelima masehi) mengawini anak perempuannya sendiri.

Di persia juga terdapat ajaran Mazdakiah, yang menghalalkan wanita secara bebas, membolehkan pemilikan harta orang lain secara zhalim, dan menjadikan manusia sebagai serikat dalam keduanya sebagaimana perserikatan manusia dalam masalah air, api, dan rumput. Artinya, wanita dan harta adalah milik bersama yang berhak digunakan dan dinikmati siapa saja. Karena itu, seseorang dianggap sah-sah saja merebut sesuatu milik orang lain. Ajaran ini memperoleh sambutan luas dari kaum pengumbar hawa nafsu.

Romawi Timur (Bizantium)
Bangsa ini tidak kalah rusak dari Persia. Romawi timur merupakan bangsa yang penuh dengan semangat kolonialisme. Pertentangan agama di kalangan mereka (baik antar sesama Kristen atau keyakinan lain) selalu berujung dengan persekusi dan pertumpahan darah. Demi menyebarkan agama Kristen dan mempermainkannya sesuai hawa nafsu, mereka tidak segan-segan mengerahkan kekuatan militer serta ambisi kolonialnya. Di samping itu, penyalahgunaan, kelaliman, dan kemerosotan ekonomi, telah menyebar ke seluruh penjuru negeri Bizantium akibat melimpahnya penghasilan dan menumpuknya pajak.

Yunani
Kondisi Yunani juga tidak lebih baik dari mereka. Negeri ini tenggelam dalam lautan khurafat dan mitologi yang tidak pernah mengantarkan pada kesimpulan yang bermanfaat.

India
Para penulis sejarah India sepakat bahwa, India yang pada zaman dahulu unggul dalam berbagai macam disiplin keilmuan, seperti ilmu pasti, perbintangan, kedokteran, dan filsafat, kemudian mengalami puncak degradasi agama, moral, dan sosial, sejak awal abad ke-6 M. Akhirnya, di India, tersebar pengumbaran nafsu yang meluas hingga ke dalam tempat-tempat ibadah, sebagai sesuatu yang tak tercela, karena agama telah memolesnya dengan bentuk peribadatan dan kesucian.

Perempuan India tidak lagi memiliki harga dan tanpa perlindungan. Kaum laki-laki menjadikan istrinya sebagai pertaruhan. Jika ditinggal mati suaminya, maka seorang perempuan dibakar hidup-hidup, ia tidak boleh menikah dan tidak lagi dihargai. Di samping itu, sesuai tradisi, khususnya di kalangan masyarakat kelas atas dan bangsawan, seorang janda membakar dirinya atas kematian suaminya sebagai bentuk penebusan hutang dan melarikan diri dari kesengsaraan.

Arab
Sementara itu, Bangsa Arab sendiri terkenal senang mabuyk-mabukan dan bermain judi. Watak keras dan kegagahberanian mereka yang mampu menipu membuat mereka tanpa segan mengubur hidup-hidup anak perempuan. Mereka sering menyerang dan membegal kafilah. Selain itu, di Arab harga diri perempuan benar-benar jatuh. Mereka mewariskan perempuan sebagaimana benda atau hewan. Ada makanan-makanan khusus yang hanya boleh dimakan oleh laki-laki dan terlarang bagi perempuan. Seorang laki-laki bebas menikah dengan banyak perempuan tanpa ada batasan. Kemudian, sebagian mereka ada yang membunuh anaknya karena takut tidak bisa memberi nafkah atau takut jatuh dalam kemiskinan. Mereka juga laurt dalam fanatisme golongan yang berlebihan dan senang berperang.

Kesimpulan
Semua peneliti sejarah sepakat bahwa pada abad ke-6 dan ke-7 M, yang merupakan masa kelahiran dan pertumbuhan Islam, dunia benar-benar berada dalam “era kegelapan”. Pada waktu itu, manusia hidup dalam kebudayaan, adat istiadat, serta keyakinan-keyakinanan yang rusak. Mereka lupa pada Sang Pencipta, mereka tidak lagi pandai membedakan kebaikan dan keburukan, kebatilan dan kebenaran.

Namun demikian, menurut penelitian Dr. Said Ramadan al-Buthi, dibandingkan bangsa lainnya ketika itu, bangsa Arab bisa dikatakan lebih baik. Arab tidak memiliki kemewahan dan peradaban Persia, yang memungkinkan mereka pandai menciptakan kemerosotan-kemerosotan, filsafat serba boleh, dan kebejatan moral yang dikemas dalam bentuk agama. Arab tidak memiliki kekuatan militer Romawi yang mendorong mereka untuk melakukan ekspansi ke negara-negara tetangga. Arab juga tidak menguasai kekayaan filsafat Yunani yang menjerat mereka dalam mitos dan khurafat.

Waktu itu, Bangsa Arab lebih seperti bahan baku yang masih murni dan belum tercampur dengan bahan lain. Mereka masih kental dengan fitrah suci manusia dan kecenderungan-kecenderungan terpuji seperti sifat penolong, tepat janji, dermawan, dan menjauhi hal tercela. Hanya saja, kemiskinan akan pengetahuan sering menyebabkan mereka tidak bisa menyatakan sifat-sifat terpuji tersebut dengan semestinya.

Dengan maksud menjaga kemuliaan dan menjauhkan diri dari kehinaan,  mereka membunuh anak perempuan. Dengan maksud menjaga kedermawanan, mereka merusak kebutuhan-kebutuhan pokok. Dengan maksud menolong, mereka mengobarkan peperangan.


Jadi, dari sini bisa disimpulkan, berbagai kebejatan yang dilakukan Bangsa Arab tak lebih lebih dikarenakan mereka adalah masyarakat nomaden yang jauh dari peradaban. Menurut al-Buthi saat itu Bangsa Arab tenggelam dalam kegelapan kebodohan yang alami dan primitif, atau dalam istilah Abul-Hasan Ali an-Nadwi, al-Jahlu al-Basith. Sedangkan bangsa-bangsa lain melakukan kebejatan-kebejatan dalam kondisi telah berperadaban. Sehingga, an-Nadwi menggolongkan bangsa-bangsa tersebut ke dalam kategori al-Jahlu al-Murakkab.[]


EmoticonEmoticon