Thursday, February 2, 2017

Polemik Pemimpin Non-Muslim

[Kontributor: Muhammad Abbas Busyro]*

Pasukan Laut - Diskursus mengenai pemimpin non-muslim di negara mayoritas muslim, sejatinya, bukanlah hal baru dalam sejarah Islam. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di belahan bumi lainnya yang berkependudukan mayoritas muslim, juga sering seringkali menjadi polemik yang nyaris tidak menemukan titik final. Bahkan, pada waktu tulisan ini disusun, saya sedang berada di sebuah wilayah di Indonesia, yang memiliki pemimpin non-muslim. Namun, jika disimpulkan, umat Islam tetap diharamkan memilih pemimpin non-muslim.

Terdapat banyak dalil yang melarang memilih orang kafir sebagai pemimpin. Di antaranya, firman Allah Swt: “Allah tidak akan memberikan jalan kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukminin.” (QS. an-Nisa’ [04]: 141).

Al-Qadhi Ibnul Arabi mengatakan: “Sesungguhnya Allah Swt tidak akan menjadikan orang kafir untuk menguasai kaum mukminin secara aturan syariat. Jika itu terjadi, berarti menyimpang dari aturan syariat. (Ahkâm al-Qur’ân, 1/641)

Allah swt juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah rasul-Nya dan ulil amri di antara kalian.” (QS. an-Nisa’ [04]: 59)

Kalimat ‘minkum’ yang artinya di antara kalian, maksudnya adalah di antara kaum muslimin. Sehingga, mereka tidak boleh memilih pemimpin non-muslim. Ketika menafsirkan surat Ali Imran ayat 118, al-Qurthubi mengatakan: “Allah Swt melarang kaum mukminin, berdasarkan ayat ini untuk memilih orang kafir, orang Yahudi, dan pengikut aliran sesat untuk dijadikan sebagai orang dekat, orang kepercayaan. Menyerahkan segala saran dan pemikiran kepada mereka dan menyerahkan urusan kepada mereka. (Tafsîr al-Qurthubî, 4/179).

Al-Qadhi Iyadh mengatakan: “Para ulama sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Termasuk ketika ada pemimpin muslim yang melakukan kekufuran, maka dia harus dilengserkan. (Syarah Shahîh Muslim, an-Nawawi, 6/315). Pendapat ini diperkuat dengan pernyataan Ibnul Mundzir: “Para ulama yang dikenal telah sepakat bahwa orang kafir tidak ada peluang untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin apapun keadaannya. (Ahkâm Ahli Dzimmah, 2/787)

Al-Hafidz Ibnu Hajar bahkan memberikan keterangan lebih sangar: “Sesungguhnya pemimpin dilengserkan karena kekufuran yang meraka lakukan, dengan sepakat ulama. Wajib kaum muslimin untuk melengserkannya. Siapa yang mampu melakukan itu, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib baginya untuk hijrah dari daerah itu. (Fath al-Bârî, 13/123)

Badruddin al-Hamawi asy-Syafi’i menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan juga aparat dari kalangan kafir dzimmi: “Tidak boleh mengangkat (kafir) dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat Islam, kecuali untuk memungut upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti, pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani kepentingan umum umat Islam.” Lalu ia melanjutkan dengan surat an-Nisa’ ayat 141 di atas. “Siapa yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai muslim. (Badruddin al-Hamawi asy-Syafi’i,Tahrîr al-Ahkâm fî Tadbîri Ahli al-Islâm, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).

Fatwa-fatwa yang disampaikan para ulama di atas, berdasarkan Hadis dari Ubadah bin Shamit Ra: “Kami berbaiat kepada Nabi Saw untuk selalu mendengar dan taat kepada pemimpin, baik dalam suka maupun benci, kesulitan maupun mudah, dan beliau juga menandaskan kepada kami untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih)

Lalu, bagaimana dengan desas-desus di media-media maensteream, bahwa pemimpin dalam Islam tidaklah harus muslim, asalkan jujur, amanah dan adil? Untuk menjawabnya, mari kita simak pendapat beberapa ulama di bawah ini:

Dalam Kitab at-Tuhfah li-Ibni Hajar al-Haitamî, juz IX, hlm 72, disebutkan:Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir dzimmi atau lainnya kecuali jika sudah sangat terpaksa. Menurut dhahir pendapat mereka, bahwa meminta bantuan orang kafir tersebut tidak diperbolehkan walaupun dalam keadaan dharurat. Namun dalam tatimmah disebutkan tentang kebolehan meminta bantuan tersebut jika memang sangat dharurat.”

Dalam kitab asy-Syarwanî ‘alâ at-Tuhfah, juz IX, hlm 72-73 juga disebutkan: “Jika suatu kepentingan mengharuskan penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan umat Islam dan aman berada di kafir dzimmi, maka boleh menyerahkannya karena dharurat. Namun demikian, bagi pihak yang menyerahkan, harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan mampu mencegahnya dari adanya gangguan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam.”

Juga bisa disebutkan dalam al-Mahallî ‘alâ al-Minhâj, juz IV, hlm 172: “Orang Islam tidak boleh meminta bantuan kepada orang kafir, karena haram menguasakan orang kafir terhadap umat Islam kecuali karena sangat dharurat.”


Darurat di sini, setidaknya mengarah pada: a) Dalam bidang-bidang yang tidak bisa ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena faktor kemampuan; b) Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat bahwa yang bersangkutan khianat; dan c) Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non-Islam itu nyata membawa manfaat. Namun demikian, orang non-Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahlu dzimmah dan harus ada mekanisme kontrol yang efektif. Wallâhu a‘lam. []

*Profil Penulis:

M. Abbas Busro lahir di Bangkalan, 09 Desember 1988 M. Pernah mengenyam pendidikan agama di PP. Al-Hasyimiyah (Sekarang Nurul Hasyim), Modung, Bangkalan, PP. Darul Falah, Bangsri, Jepara, dan PP. Sidogiri, Kraton, Pasuruan. Pernah aktif menjadi Pustakawan Perpustakaan Sidogiri (2007-2010), Ketua Omim (Organisasi Murid Intra Madrasah) Aliyah Madrasah Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri (2012-2013), Wakil Kepala Badan Pers Pesantren Pondok Pesantren Sidogiri (2012-2013), Staf Redaksi Majalah MAKTABATUNA (2009-2010), Pimpinan Redaksi Buletin NASYITH (2011-2012), Redaktur Pelaksana Majalah IJTIHAD (2011-2012), Pimpinan Umum dan Editor Majalah IJTIHAD (2012-2013) Pimpinan Redaksi Majalah IJTIHAD (2013-2014), Staf Redaksi Buletin al-Ummah (2014), Staf Redaksi Buletin Istidlal (2015-2016), Pemimpin Redaksi Buletin al-Ummah (2015-2016), dan Editor Buletin al-Ummah (2016-sekarang). Ia mengaku mulai terjun dalam dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku kelas 1 Tsanawiyah Madrasah Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri. Ia juga sempat menduduki juarai I kategori Lomba Insya’ Arabi (penulisan karya tulis ilmiyah berbahasa Arab) di Hari Jadi ke-272 Pondok Pesantren Sidogiri. Karya-karyanya bertebaran di media-media pesantren, mulai dari puisi, cerpen, esai, artikel, dan sebagainya. Kini ia hanya mengisi hari-harinya dengan bermain-main dengan keyboard dan mengembara dalam dunia imajinasi. Bagi yang ingin mengirimkan kritik dan saran, bisa menghubunginya melalui: 1) Email: santri.salaf@rocketmail.com; 2) Facebook: www.facebook.com/santriwan.salaf; 3) Twitter: www.twitter.com/MubasSahmiIlyas; kompasiana: www.kompasiana.com/mubassahmiilyas;  4) Blog: www.mubassahmiilyas.blogspot.com; Wordpress: www.mubassahmiilyas.wordpress.com


EmoticonEmoticon