Showing posts with label Kebangsaan dan Nasionalisme. Show all posts
Showing posts with label Kebangsaan dan Nasionalisme. Show all posts

Friday, August 17, 2018

Haul Legiun Veteran RI

Dalam keyakinan yang dianut masyarakat Islam tradisional, saben malem Jum’at, ahli kubur tilik ngomah, nyuwun pandungane waosan Qur’an sak kalimah (setiap malam Jumat, arwah para leluhur yang meninggal, pulang ke rumah, meminta pahala bacaan al-Qur’an).

Keyakinan ini bertolak dari ajaran hadis. Di dalam karyanya, Hadiyyatul-Ahya’ lil-Amwat, Hasan Ali al-Hakkari menyebutkan hadis ini, Kanjeng Nabi bersabda bahwa ruh setiap mukmin datang setiap malam Jum’at ke langit dunia, berdiri di depan pintu-pintu rumah mereka, memohon welas asih dari mereka yang masih hidup.

Bertumpu pada keyakinan ini, secara sugestif dan normatif, tidak ada yang menenangkan dan membuat gembira arwah Legiun Veteran yang berpulang ke pangkuan-Nya, selain rapalan doa dari yang masih hidup. Imam an-Nawawi dalam al-Adzkar menulis bahwa seluruh ulama sepakat, doa dan bacaan yang ditujukan kepada orang-orang yang meninggal dunia dapat memberikan manfaat kepada mereka dan pahala bacaan tersebut sampai kepada mereka.

Jika demikian, ritus tahlilan, sebagai seperangkat formula yang terdiri dari baqiyyah shalihah, shalawat, surat-surat pendek, potongan ayat-ayat al-Qur'an, dan doa-doa tertentu, begitu urgen berkenaan dengan peringatan dan perayaan Hari Veteran Nasional (HVN) pada setiap 10 Agustus. Selain dapat meringankan "beban moral" legiun veteran di alam kubur, tahlilan bisa menjadi sarana dalam memasyarakatkan eksistensi veteran dan Legiun Veteran RI, karena merupakan media yang dapat dijangkau masyarakat. Hasil “veteranisasi” lebih mudah digapai melalui pendekatan kultural, daripada pendekatan formal-struktural yang notabene hanya dapat dilakukan pada bagian kecil ajaran formal yang bercorak legalistis. Di sini berarti, sejauh mana “nilai-nilai veteranistis” mengisi secara integratif sistem budaya masyarakat yang masih lestari.

Pemerintah senyatanya telah menaruh perhatian pada ihwal dan kesejahteraan Legiun Veteran. Mereka memperoleh tunjangan veteran, dana kehormatan, hak protokoler, pemakaman di Taman Makam Pahlawan, dan hak-hak tertentu dari negara yang ditetapkan oleh peraturan Presiden. Lebih-lebih Presiden Jokowi menaikkan tunjangan veteran 25 persen semenjak awal bulan 2018. Hal ini dia sampaikan pada acara penutupan Kongres XI LVRI di Hotel Borobudur, Jakarta Pusat pada 19 Oktober 2017. (liputan6.com). Akan tetapi perayaan dan sosialisasi belum menyentuh kalangan masyarakat umum, sehingga veteran tidak mendapat tempat di hati rakyat.

Berikut ini pengertian LVRI (Legiun Veteran Republik Indonesia) sebagaimana disebutkan di situs resminya (veteranri.go.id):
Dalam Undang-undang disebutkan bahwa Veteran Republik Indonesia adalah warga negara Republik Indonesia yang ikut secara aktif dalam sesuatu peperangan membela Kemerdekaan dan kedaulatan Negara Republik Indonesia menghadapi negara lain yang timbul pada masa yang akan datang, dan juga mereka yang ikut dalam masa revolusi fisik antara 17 Agustus 1945 sampai 27 Desember 1949 untuk mempertahankan Republik Indonesia, ikut aktif dalam perjuangan pembebasan Irian Barat melakukan Trikora sejak 10 Desember 1961 sampai dengan 1 Mei 1963, dan yang ikut melakukan tugas Dwikora langsung secara aktif dalam operasi-operasi/pertempuran dalam kesatuan-kesatuan bersenjata serta mereka yang ikut aktif dalam perjuangan Seroja dalam kurun waktu tgl. 21 Mei 1975 sampai dengan 17 Juli 1976.

Ringkasnya, veteran merupakan pahlawan yang rela berjuang berpeluh-peluh atau berdarah-darah demi kemerdekaan negeri ini. Sudah sepatutnya, anak bangsa menghargai jasa mereka. Salah satunya ialah dengan memperingati HVN dan mengisinya dengan cara yang dapat dijangkau oleh masyarakat, yaitu tahlilan, baik secara kolosal maupun kecil.

Lebih-lebih HVN pada tahun ini tepat pada hari Jumat. Ini merupakan momentum yang pas. Tahlilan lebih utama dilaksanakan pada malam Jumat seusai Shalat Maghrib atau Isya di masjid, mushalla, atau di majelis tertentu.
Tahlilan yang dilaksanakan secara rutin setahun sekali pada tanggal yang telah ditetapkan, merupakan peringatan ritus keagaaman khas yang disebut haul.

Islam Nusantara dan Nahdhatul Ulama memiliki tradisi yang disebut haul, yaitu peringatan kematian seseorang yang diadakan setahun sekali dengan tujuan mendoakan orang yang meninggal dan tabarrukan (ngalap berkah) darinya. Kata 'haul' berasal dari Bahasa Arab yang secara etimologis berarti 'satu tahun'. Dengan demikian, setiap 10 Agustus, masyarakat menyelenggarakan Haul Legiun Veteran RI.

Beriringan dengan antusiasme mengenang jasa para pahlawan dan keresahan akan alpanya LVRI di hati masyarakat, akan baik jika pada awal-awal Bulan Agustus, ritus tahlilan dalam rangka memperingati HVN ini disepakati pihak-pihak terkait terutama DPD, DPC, dan DPR LVRI di semua markas, juga tokoh-tokoh masyarakat, untuk mencatutnya ke dalam bagian dari serangkaian program dan agenda HUT Kemerdekaan RI pada 17 Agustus. Tentu ini sekadar sugesti. Tetapi, masyarakat akan menjadi tahu bahwa seminggu sebelum pelaksanaan HUT Kemerdekaan RI, Legiun Veteran sedang menunggu untuk ditahlili. Posisi dan tugas lebih delapan puluh ribu veteran saat ini akan hilang, dan semoga akan lahir generasi yang lebih baik.

Pencapaian besar dimulai dari langkah yang kecil.

Monday, March 6, 2017

Ayah dan Pramoedya Ananta Toer

Awal tahun 1963, dunia sastra Indonesia digemparkan oleh dua surat kabar harian ibu kota, yaitu Harian Rakyat dan Harian Bintang Timur. Koran berbau komunis itu memberitakan di halaman pertama: "Tenggelamnya Kapal Van der Wijck" adalah hasil jiplakan oleh pengarang Hamka. Alasan berita itu dilansir oleh seorang penulis bernama Ki Panji Kusmin. Sedangkan di Harian Bintang Timur, dalam lembaran Lentera, juga memuat dan mengulas bagaimana Hamka mencuri karangan asli dari pengarang Alvonso Care, seorang pujangga Prancis. Lembaran Lentera ini diasuh oleh Pramodya Ananta Toer.
.
Berbulan-bulan lamanya kedua koran komunis ini menyerang Ayah dengan tulisan-tulisan berbau fitnah. Bahkan juga menyerang pribadi. Namun begitu, aku lihat Ayah tenang-tenang saja menghadapi segala hujatan dari Ki Panji Kusmin dan Pramoedya Ananta Toer itu.
.
Aku yang waktu itu bersekolah di SMAN IX merasakan tekanan batin juga. Guru Sastra Indonesiaku seorang guru PGRI Vak. Sentral, begitu pula dengan guru CIVIC-ku, keduanya dengan gaya mengejek selalu menanya kesehatan Ayah dan tidak lupa berkirim salam. Kupingku terasa panas bila kedua guruku itu bertanya kepadaku. Begitu pula halnya dengan saudara-saudaraku yang lain. Apalagi membaca kedua koran yang sengaja dikirim ke rumah secara gratis.
.
PKI melakukan kudeta tanggal 30 September 1965 namun gagal. Dalam usaha kup itu 6 orang Jenderal dan 1 perwira gugur dibunuh PKI. Begitu sejarah mencatat. Akibat kegagalan kup PKI itu, kedua guru SMA-ku laku diberhentikan sebagai guru dan pegawai negeri. Pramoedya Ananta Toer sendiri kemudian ditahan di Pulau Buru.
.
Beberapa tahun kemudian, Pramoedya Ananta Toer dibebaskan. Ia kemudian melakukan kegiatannya lagi. Ayah tidak pernah berhubungan dengan tokoh Lekra yang tidak pernah bosan menyerang Ayah di kedua koran komunis itu. Ayah nyaris tidak pernah merasa terusik dengan apa yang diperbuat sastrawan tersebut kepada Ayah. Ayah sangat tenang sekali menyikapi semuanya.
.
Pada suatu hari, Ayah kedatangan sepasang tamu. Si perempuan seorang pribumi, sedangkan yang laki-laki seorang keturunan China. Kepada Ayah si perempuan kemudian memperkenalkan diri. Namanya Astuti. Sedangkan si laki-laki bernama Daniel Setiawan. Ayah agak terkejut ketika Astuti mengatakan bahwa ia adalah anak sulung dari Pramoedya Ananta Toer. Astuti menemani Daniel menemui Ayah untuk masuk Islam sekaligus mempelajari Agama Islam, menjadi seorang muallaf. Cerita Astuti, selama ini Daniel adalah seorang non-muslim. Ayahnya, Pramoedya, tidak setuju bila anak perempuannya yang muslimah menikah dengan laki-laki yang berbeda kultur dan agama.
.
Selesai Astuti mengutarakan maksud kedatangannya, serta bercerita latar belakang hubungannya dengan Daniel, tanpa ada sedikit pun keraguan, permohonan kedua tamu itu diluluskan Ayah. Daniel Setiawan calon menantu Pramoedya Ananta Toer langsung dibimbing Ayah membaca dua kalimat syahadat. Ayah lalu menganjurkan Daniel berkhitan dan menjadwalkan untuk memulai belajar agama Islam dengan Ayah.
.
Dalam pertemuan dengan putri sulung Pramoedya dan calon menantunya itu, Ayah sama sekali tidak pernah menyinggung bagaimana sikap Pramoedya terhadapnya beberapa waktu yang lalu. Benar-benar seperti tidak pernah terjadi apa-apa di antara mereka berdua.
.
Salah seorang teman Pramoedya yang bernama Dr. Hoedaifah Koeddah pernah menanyakan kepada Pramoedya, apa alasan tokoh Lekra ini mengutus calon menantunya menemui Hamka. Dengan serius Pram menjelaskan kepada temannya itu.
.
"Masalah faham kami tetap berbeda. Saya ingin putri saya yang muslimah harus bersuami dengan laki-laki seiman. Saya lebih mantap mengirim calon menantu saya belajar Agama Islam dan masuk Islam kepada Hamka." Pramoedya menjelaskan dengan gamblang.
.
Menurut Dr. Hoedaifah yang tertuang dalam Majalah Horison, Agustus 2006, secara tidak langsung, tampaknya Pramoedya Ananta Toer dengan mengirim calon menantu ditemani anak perempuan kepada Buya, seakan ia meminta maaf atas sikapnya yang telah memperlakukan Ayah kurang baik di Harian Bintang Timur dan Harian Rakyat. Dan secara tidak langsung pula Ayah telah memaafkan Pramoedya Ananta Toer dengan bersedia membimbing dan memberi pelajaran agama Islam kepada calon menantunya.
.
Aku sendiri sangat yakin, sesungguhnya Ayah tidak pernah sedikit pun merasa bermusuhan dengan Pramoedya Ananta Toer.
***
Peristiwa Ayah menghadapi tiga tokoh tersebut aku sampaikan dalam buku ini untuk menambah informasi sekaligus pembelajaran kepada kita semua akan sisi-sisi kehidupan Ayah ketika menghadapi berbagai cobaan dalam kehidupannya. Ayah selalu berpandangan positif dan yakin bahwa semua manusia pada dasarnya baik.
.
[Diketik ulang dari buku berjudul 'Ayah, Kisah Buya Hamka', karya Irfan Hamka, putra kelima Buya Hamka]

Sunday, February 5, 2017

Membungkus Jati Diri NKRI

Kontributor: Ahrori Zhofir
"Jangan-jangan orang yang getol menyuarakan kedaulatan NKRI sementara mereka alergi terhadap agama, justru mereka yang menggerogoti NKRI.”  “Atau jangan-jangan ada elit yang dengan sengaja hendak membenturkan ormas tertentu agar Islam nampak berpecah.” Itulah seingat saya sepenggal komentar yang disampaikan oleh seorang teman saat perjalanan dari Madura menuju Pondok Pesantren Sidogiri pada hari Rabu (25/1) kemarin. Betapa rumitnya merekam dan mendeteksi bahwa seseorang tersebut cinta NKRI. Sulit memang, apalagi ada kelompok yang mau dipesan. Katanya saja.

Quo Vadis Isu Pemecah Belah NKRI


Kontributor: Ahrori Zhofir
Entah siapa yang menggelindingkan opini provokatif soal terpecah-belahnya NKRI. Yang jelas, hingga saat ini banyak sekali yang latah dengan melontarkan isu pemecah-belah NKRI. Tak terkecuali mulai dari akar rumput hingga para pengamat. Kira-kira, teka-teki munculnya isu tersebut bermaksud untuk membangun Indonesia atau justru mengadudomba bangsa kita? Tidak perlu dijawab. Tetapi perlu sesekali untuk direnungkan, kemudian disimpulkan.

Thursday, February 2, 2017

Polemik Pemimpin Non-Muslim

[Kontributor: Muhammad Abbas Busyro]*
Pasukan Laut - Diskursus mengenai pemimpin non-muslim di negara mayoritas muslim, sejatinya, bukanlah hal baru dalam sejarah Islam. Tidak hanya di Indonesia, bahkan di belahan bumi lainnya yang berkependudukan mayoritas muslim, juga sering seringkali menjadi polemik yang nyaris tidak menemukan titik final. Bahkan, pada waktu tulisan ini disusun, saya sedang berada di sebuah wilayah di Indonesia, yang memiliki pemimpin non-muslim. Namun, jika disimpulkan, umat Islam tetap diharamkan memilih pemimpin non-muslim.

Monday, January 30, 2017

Demokrasi vs Democrazy

Rakyat Indonesia punya dasar dan ideologi sendiri tentang demokrasi. Dalam sila keempat disebutkan, permusyawaratan dan kebersamaan rakyat, seperti dalam al-Quran; musyawarah dan jamaah. Makanya, ideologi Pancasila diterima oleh NU karena isinya sesuai dengan paradigma al-Quran.