Monday, February 6, 2017

Benarkah Iman itu Fluktuatif?


Kontributor: Ahmad Fauzan AF
Pasukan Laut - Pembahasan iman dalam Islam sungguh sangat penting dan vital. Sebab, intensitas kehambaan manusia kepada Tuhannya diukur dari seberapa kuat iman itu tertancap di hati.
Tulisan ini akan membahas apakah iman itu fluktuatif (naik-turun) atau tidak? Kalau ia, apa sajakah yang dapat mempengaruhi fluktuasi tersebut.

Kontroversi Ulama
Dalam diskursus teologis, respon teolog muslim berbeda-beda mengenai apakah iman itu mengalami fluktuasi atau tidak. Setidak-tidaknya ada dua pandangan yang mewakili pembahasan ink.
Pertama, pendapat yang mengatakan bahwa iman tidak mengkin mengalami fase naik-turun. Menurut pendapat ini, iman adalah sebuah wujud konkrit dari puncak pembenaran (tashdiq) berujung pada intensitas kehambaan dalam hati. Sehingga ketenangan hati dan kemantapannya pada eksistensi Tuhan akan kuat. Apabila bobot tashdiq itu berkurang, nantinya akan berefek pada kekufuran. Pendapat ini diwakili oleh Imam Abu Hanifah.

Terkait dengan ayat-ayat yang menegaskan terjadinya fluktuasi dalam iman, Imam Abu Hanifah lebih menitikberatkan pada amal atau pekerjaannya yang bisa berkurang atau bertambah. Sedangkan esensi dari iman yang ada dalam hati tidak demikian.

Hal ini sebagaimana yang telah tetjadi pada generasi sahabat Rasulullah--shallal-Lahu 'alaihi wasallam. Saat itu wahyu turun secara gradual dan tidak sekaligus, sehingga ketika ada perintah baru turun, maka kualitas amal para sahabat pun meningkat. Sedangkan esensi iman mereka tetap kokoh seperti sebelum dan sesudah wahyu itu turun.

Kedua, pendapat dari kalangan Asy'ariyyah yang mengatakan bahwa iman bisa mengalami peningkatan. Menurut mereka, iman akan berada dalam titik puncak jika ibadah dan ketaatan hamba memuncak. Begitu pula sebaliknya. Sangat banyak nash yang mensinyalir bahwa iman memang berfluktuasi. Antara lain ayat:

وما جعلنا عدتهم إلا فتنة للذين كفروا ليستيقن الذين أوتوا الكتاب ويزداد الذين آمنوا إيمانا

"Dan tidaklah kami jadikan bilangan mereka itu melainkan untuk menjadi cobaan bagi orang-orang kafir, supaya orang-orang yang diberi al-Kitab menjadi yakin dan supaya orang yang beriman bertambah imannya". (QS. al-Mudatstsir [74]:31).

Dan ayat:

وإذا ما أنزلت سورة فمنهم من يقول أيكم زادته هذه إيمانا فأما الذين آمنوا فزادتهم إيمانا وهم يستبشرون

"Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata, "Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?" Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, dan mereka merasa gembir". (QS. at-Taubah [09]:124).

Sedangkan Hadis yang menyinggung akan bertambah dan berkurang imannya sebagai berikut:

قال النبي لابن عمر لما سأله: الإيمان يزيد وينقص؟ قال نعم، يزيد حتى يدخل صاحبه الجنة وينقص حتى يدخل صاحبه النار

Abdullah bin Umar pernah bertanya kepada Nabi, "Apakah iman itu bisa bertambah dan berkurang? Beliau menjawab, "Ya, iman hamba dapat bertambah hingga ia masuk surga dan berkurang hingga ia masuk neraka". (HR. Muslim).

Adapun perkataan sahabat yang menyatakan bahwa iman itu fluktuatif adalah:

قال عمر بن حبيب الصحابي إن الإيمان يزيد وينقص فقيل له وما زيادته وما نقصانه، قال إذا ذكرنا الله وخشيناه فذلك زيادته وإذا غفلنا ونسينا وضيعنا فذلك نقصانه، رواه أحمد

Sahabat Umar bin Habib berkata, "Sesungguhnya iman itu bisa bertambah dan berkurang". Kemudian ia ditanya, "Apakah maksud dari bertambah dan berkurangnya iman itu?" Ia menjawab, "Ketika kita ingat dan merasa takut kepada Allah, maka iman kita dikatakan bertambah. Dan jika kita lalai dan lupa kepada-Nya, iman kita dikatakan berkurang" (HR. Ahmad).

Imam Fakhrurrozi dan Imam Haramain mencoba menggabungkan dua pendapat di atas. Mereka mempunyai asumsi bahwa perbedaan di atas tidak menyentuh pada ranah hakikat, tetapi secara lafal saja. Pendapat yang mengatakan iman itu berfluktuasi oleh mereka diarahkan pada hal-hal yang menyempurnakan iman, yaitu aplikasi anggota badan terhadap ketentuan-ketentuan syariat yang semakin bertambah. Sedangkan ulama yang mengatakan bahwa iman itu tidak berfluktuasi, oleh golongan ini, diarahkan pada esensi iman itu sendiri, yaitu tashdiq yang bersumber dari dalam hati. Jadi, tashdiq atau pembenaran hati terhadap apa-apa yang datang dari Rasulullah--shallal-Lahu 'alaihi wasallam tetap seperti semula. Namun, aplikasi nyata berupa perbuatan baik yang kemudian terus meningkat dikarenakan bertambahnya perintah yang turun dan menuntut untuk dilaksanakan.[]


EmoticonEmoticon