Tuesday, February 14, 2017

Apa sih Gunanya Kaidah Fikih?


Kontributor: Saiful Ulum
Pasukan Laut - Perkembangan zaman dengan segala problematikanya yang semakin hari semkin kompleks menuntut penguasaan hukum syariat yang lebih mendalam untuk menjawabnya. Pendalaman hukum syariat yang, mungkin, hanya dapat dieralisasikan dengan penguasaan ilmu Fikih yang tertuang dalam kitab-kitab klasik, bukanlah hal yang mudah dilakukan bak membalik telapak tangan. Dengan banyaknya permasalahan yang terkandung dalam fikih yang kadang oleh sang pengarang dengan panjang membuat disiplin ilmu yang satu ini mempunyai koleksi buku atau kitab yang berjilid-jilid. Kita sebut saja al-Majmu’ karangan Imam an-Nawawi yang mencapai 23 jilid dengan rata-rata ketebalan perjilid mencapai 400 halaman. Belum lagi kitab-kitab yang lain.

Tapi semua masalah yang terkandung dalam fikih yang mencapai berjuta-juta jilid bisa terangkum dalam hanya beberapa halaman formulasi hukum fikih yang lebih dikenal di kalangan pesantren dengan nama Kaidah Fikih. Kaidah Fikih bagaikan rangkuman dari bermacam-macam permasalahan fikih menjadi angin segar untuk mempelajari fikih dengan cara yang mudah dan tepat.

Kaidah fikih merupakan klasifikasi dari berbagai macam persoalan fikih dengan menggunakan kata-kata yang ringkas dan mudah diingat. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa seseorang yang mempelajari ilmu fikih tapi tidak menguasai kaidah fikih bisa dikatakan penguasaan fikihnya tidak sempurna dan masih kurang.

Tapi, banyak dari para pelajar yang tidak tahu dengan jelas dan pasti apa itu kaidah fikih? Mengapa harus belajar kaidah fikih? Apa yang diperoleh seseorang yang menguasai kaidah fikih? Mungkin ini pertanyaan yang kerapkali terbesit di benar kita ketika mempelajari kaidah fikih.

Definisi
Secara etimologis, kaidah memiliki arti dasar, pondasi atau fundamen segala sesuatu. Dengan demikian, apabila dalam literatur Arab terdapat kalimat qawa’idul-bait maka yang dimaksud adalah pondasi rumah. Jadi, bisa dikatakan bahwa kaidah fikih adalah dasasr dari fikih dengan berdasarkan arti etimologi ini.

Sedangkan ditilik dari segi terminologi, terdapat beragama statemen dari kalangan fuqaha dalam mendefinisikannya. Tajuddin as-Subuki (w. 771) mendefinisikan kaidah fikih sebagai rumusan hukum yang bersifat universal (kulliyyat) yang mampu merangkum segala macam persoalan furu’iyyah tanpa terkecuali, serta memiliki fungsi untuk mengetahui status hukum persoalan yang serupa. Sementara menurut al-Hamawi (w. 1098 H) kaidah fikih ialah kerangka hukum yang bersifat mayoritas (aktsariyah / aghlabiyyah) yang mencakup beberapa permasalahan fikih dan berfungsi mengetahui status hukumnya.

Manfaat Mempelajari Kaidah Fikih
Di antara manfaat mengetahui kaidah fikih adalah kita tidak akan kesulitan untuk mengetahui esensi fikih, dasar-dasar hukumnya, serta sejumlah rahasia yang terkandung di dalamnya. Di samping itu, kaidah fikih yang mudah untuk dihafal, dapat membantu kita dalam melakukan ilhaq (analogi), takhrij untuk mengetahui hukum dari berbagai persoalan baru yang semakin hari semakin membengkak dan budaya masyarakat yang belum tertuang dalam kitab-kitab fikih klasik.

Di konteks yang sama, dengan ungkapan yang cukup al-Qarafi menuturkan, “Barang siapa yang menguasai fikih disertai dengan kaidah-kaidah (kulliah-nya), maka iatidak perlu bersusah payah untuk menghafal hukum-hukum juz’iyyah, karena semuanya sudah tercakup dalam kaidah tersebut.”

Dalam Dirasah wa Tahqiqil-Kitab al-Qawa’id, Abdurrahman bin Abdullah asy-Sya’lani menyatakan dengan lebih gamblang bahwa terdapat enam keistimewaan dalam mempelajari kaidah fikih. Pertama, dengan ungkapan yang ringkas dan padat, kaidah fikih mudah dipelajari dan dihafal oleh siapapun sehingga dimungkinkan seseorang tidak mengalami kesulitan untuk mengetahui hukum-hukum furu’iyah (cabang) yang tak terhitung jumlahnya walaupun masih tetap harus mempelajari hukum-hukum furu’iyyah. Senada dengan asy-Sya’lani, yaitu ungkapan Imam az-Zarkasyi, “Bahwa menguasai beragam persoalan dengan satu studi yang integral akan lebih mudah dihafal dan dikuasai”.

Kedua, dengan menguasai kaidah fikih, kita akan mudah mengetahui disparitas maupun persamaan antara satu persoalan dengan yang lainnya tanpa harus dibingungkan dengan kontradiksi hukum dalam persoalan tersebut. Diakui atau tidak, dalam benak kita sering timbul tanda tanya: kenapa hukum A berbeda dengan hukum B padahal secara implisit keduanya memiliki karakter yang serupa? Hal itu akan terjawab bila kita menguasai betul kaidah fikih.

Ketiga, kaidah fikih ibarat sebuah alat bantu bagi kita untuk mengetahui status hukum dari pelbagai kasus yang sedang bergulir dan belum pernah terjadi sebelumnya atau belum terjawab oleh para pakar tempo dulu.

Berkenaan dengan ini, Ibnu Najim mengatakan, “Kaidah fikih mampu mengantarkan seorang fakih untuk mencapai derajat ijtihad kendati hanya pada taraf ijtihad fatwa”. Namun dengan catatan, bisa menguasai secara paripurna atau dengan artian mengerti dalil-dalil asalnya, serta berbagai kasus yang tercakup dan yang dikecualikan.

Keempat, kaidah fikih dapat membantu kita untuk mengerti tujuan-tujuan fundamental dari syariat Islam (maqashid syariah). Sebab, apabila kita hanya mempelajari hukum dari persoalan secara juz’iyyah (parsial-partikular) maka terasa sulit sekali untuk mengetahui hal tersebut, sementara di dalamnya masih terdapat nilai krusial yang belum kita ketahui. Akan tetapi, ketika kita menguasai kaidah fikih semisal ­al-masyaqqah tajlibut-taysir (kesulitan akan menyebabkan kemudahan hukum), maka kita akan mengerti bahwa syariat Islam menawarkan kemudahan pada penganutnya dan bukan sebaliknya.

Kelima, kaidah fikih mudah dipelajari dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari karena merupakan disiplin ilmu yang bersifat terbuka.

Keenam, dengan mempelajari kaidah fikih sama halnya dengan mempelajari fondasi yang menyanggah bangunan hukum fikih, hanya saja kaidah fikih menggiring hukum juz’iyyah pada kaidah kulliyyah, sementara ilmu yang lain sebaliknya.


Sebenarnya masih banyak manfaat yang terkandung dalam kaidah fikih, namun dengan pemaparan di atas, setidaknya kita telah mengetahui beberapa faidah dan manfaat dari kaidah fikih. Sebagai penutup dari tulisan ini, alangkah baiknya bila kita merenungi ungkapan al-Qarafi, “Barangsiapa yang menguasai furu’ (cabang) fikih dengan telaah parisal-partikular tanpa menggunakan kaidah-kaidah universalnya, maka ia akan banyak menemukan perbedaan dan kontradiksi, jiwanya akan gundah gulana dalam memikirkannya. Pada gilirannya, ia menjadi putus asa. Ia harus menghadapi berbagai macam persoalan yang tak ada ujung pangkalnya sedangkan umurnya habis sebelum ia mendapatkan apa yang ia cita-citakan. Dan tidak akan pernah puas dengan apa yang ia inginkan, bahkan bisa berakibat pada putus harapan”.[]


EmoticonEmoticon