Wednesday, February 15, 2017

Telaah Jam’ul-Qur’an pada Tiga Periode dan Pembagian Ayat dan Surat dalam al-Qur’an


BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Sesunggunya, otentisitas al-Qur’an yang berada di tengah-tengah umat Islam saat ini tidak diragukan lagi. Riwayat-riwayat tentang fakta sejarah pembukuan al-Qur’an yang tanzil lafzhan wa ma’nan ini berjubel dan mutawatir. Sejarah telah merekam aktivitas umat Islam dalam menulis, menghafal, mengumpulkan, membukukan, dan menyebarkan al-Qur’an sejak periode Nabi Muhammad hingga periode kekhalifahan Sayyidina Utsman bin Affan. Sehingga, al-Qur’an yang berada di tangan umat Islam saat ini ialah al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah melalui malaikat Jibril kepada Rasulullah.
Namun, ada sejumlah kalangan yang kerap melakukan upaya desakralisasi al-Qur’an, dengan mengkaburkan fakta sejarah ini. Upaya desakralisasi terhadap al-Qur’an berakibat pada keragu-raguan muslim awam; jika aktivitas jam’ul-Qur’an sejak masa Nabi hingga Sayyidina Utsman tidak sempurna, mana mungkin al-Qur’an yang berada di tengah kita dewasa ini asli dan otentik. Sahabat-sahabat Nabi sebagai manusia tentu saja mengalami kesalahan, karena mereka manusia biasa, sama seperti kita. Sebagaimana Bibel yang telah mengalami banyak penambahan, pengurangan, dan pendistorsian teks, tentu saja al-Qur’an tidak jauh berbeda dengan Bibel
Tentu saja, makalah ini tidak akan membahas mengenai sejarah kelam Kristen dan Bibel di Barat, dan tidak akan memaparkan pembantahan terhadap kalangan yang memaksa menyama-nyamakan Bibel dengan al-Qur’an, sebagaimana dilakukan oleh Adian Husaini. Makalah ini hanya akan menjelaskan perihal sejarah pembukuan al-Qur’an, guna meyakinkan muslim bahwa al-Qur’an kita adalah wahyu dari Allah, bukan karangan Muhammad, atau meski wahyu dari Allah, tetapi tidak sepi dari kesalahan para sahabat sebagai manusia dalam membukukan al-Qur’an.

B.     RUJUKAN DAN REFERENSI MAKALAH
Dalam menyusun makalah ini, kami menjadikan kitab-kitab berbahasa Arab sebagai rujukan. Sebab, menjadikan buku-buku terjemahan tentang tema ini sebagai rujukan, lumrahnya hanya akan berujung pada plagiarisme, sehingga tidak akan menambah kreativitas dan mengasah kemampuan dan skill dalam menulis. Kendati demikian, kebanyakan kitab-kitab yang menjadi referensi di sini, diambil dari Software Maktabah Syamilah. Tentu saja, diskusi juga perlu, guna memahami lebih mendalam tentang topik dan tema yang dimaksud.



BAB II
TENTANG JAM’UL QUR’AN

A.    TINJAUAN ANALITIK ETIMOLOGIS
Kata ‘Jam‘u’ (جمع) merupakan bentuk kata benda (mashdar/noun) yang memiliki arti pengumpulan atau penghimpunan. ‘Jam‘u’ berasal dari kata kerja (fi’il madhi-mudhari’/verb), ‘jama‘a-yajma’u’ (جمع - يجمع) dengan pola ‘fa‘ala-yaf’alu’ (فعل - يفعل).[1]
Adapun kata ‘qur’an’ (قرأن) merupakan bentuk kata benda (mashdar/noun) yang seakar dengan kata  ‘ghufran’ (غفران) dan ‘syukran’ (شكران) dengan pola ‘fa’lan’ (فعلان). ‘Qur’an’ berasal dari ‘qara’a-yaqra’u’ (قرأ - يقرأ) atau ‘qur’’ (قرأ), yang secara bahasa bermakna ‘dham’ (ضم) dan ‘jam’’ (جمع) yang artinya mengumpulkan.[2] Itulah mengapa kitab suci umat Islam ini diberi nama al-Qur’an, sebab di dalamnya terkumpul ayat-ayat dan surat-surat.[3]
Meski ‘qur’an’ berbentuk kata benda (mashdar/noun), namun yang terkandung di dalam kata ‘qur’an’ sendiri bermakna objek (isim maf‘ul), yakni ‘yang dibaca’. Jadi, dari asal muasal kata, al-Qur’an bermakna ‘bacaan yang dibaca’, selaras dengan kata ‘qira’ah’ (bacaan). [4]

B.     TINJAUAN ANALITIK TERMINOLOGIS
Jika kita menelaah definisi al-Qur’an dalam sejumlah literatur, kita akan mendapati definisi tentangnya yang bermacam-macam dan variatif. Kendati demikian, seluruh definisi ini tidak bertabrakan, tetapi saling terikat dan melengkapi: satu definisi misalnya, lebih universal daripada definisi lain yang cenderung simpel atau lebih spesifik lantaran ditinjau dari kaca mata berbeda.[5]
Syekh Ali Ash-Shabuni semisal mendefinisikannya sebagai firman Allah yang mengandung mukjizat, diturunkan kepada penutup para nabi dan rasul (Muhammad) melalui perantara al-Amin, Jibril, tersimpul dalam mushaf-mushaf yang sampai kepada kita secara mutawatir, membacanya memperoleh pahala, dimulai dari surat al-Fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas.[6] Syekh Muhammad Salim mentakrifi al-Qur’an sebagai Kalam Allah yang diturunkan atas Nabi kita, Muhammad, tertulis dalam mushaf-mushaf yang sampai kepada kita secara mutawatir, membaca surat terpendeknya memperoleh pahala.[7] Adapun ushuliyyun (pakar-pakar teologi Islam), mendefinisikannya sebagai sebuah nama bagi kalam nafsi yang qadim, yang terdapat dalam zat Allah.[8] Definisi yang terakhir ini lebih mengarah pada esensi sifat kalam bagi Allah, sebab al-Qur’an merupakan kalam Allah.
Karenanya, di sini, kami hanya akan memberikan satu definisi saja yang telah dimufakati (muttafaq ‘alaih) oleh para pakar yurisprudensi Islam (ushul fiqh),  fuqaha’ (ulama fikih), dan ahli-ahli bahasa.[9] Definisi ini kami anggap telah mewakili berbagai definisi variatif itu.
Al-Qur’an adalah Kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad, mengandung mukjizat, membacanya mengandung ibadah, diturunkan secara mutawatir, tersimpul dalam mushaf dari awal surat al-Fatihah hingga akhir surat an-Nas. Maka, Taurat, Injil, Hadis-hadis Nabi, Hadis qudsi, dan berbagai teks lain, tidak terlingkup dalam definisi ini.[10]

C.    MAKNA JAM’UL-QUR’AN
Jam’ul-Qur’an secara sederhana berarti upaya mengodifikasi al-Qur’an. Jam’ul-Qur’an terarah pada dua makna, yakni (1) menghafal dan (2) menulis atau menghimpun.[11] Makna yang pertama selaras dengan ayat dalam surat al-Qiyamah:
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ
Sesungguhnya atas tanggungan Kami lah mengumpulkannya (menghafalnya) dan membuatmu pandai membaca” (QS. al-Qiyamah [75]:17)[12]
Kata jam’ahu dalam ayat di atas memiliki arti menghafal.[13]
Adapun makna yang kedua selaras dengan perkataan Sayyidina Umar, “Wa inni ara an ta’mura bijam’il-Qur’an” (وإني أرى أن تأمر بجمع القرآن), bahwa beliau melontarkan pendapat kepada Khalifah Abu Bakar agar ia memerintahkan para sahabat untuk melakukan jam’u (menulis) al-Qur’an. Hal senada juga dikatakan oleh Khalifah Abu Bakar kepada Zaid bin Tsabit, “Fatattabi’il-Qur’an fajma’hu” (فتتبع القرآن فاجمعه). Beliau memerintahkannya untuk pula melakukan jam’ul-Qur’an (menuliskan al-Qur’an) atas saran Sayyidina Umar. [14]
Sebagaimana pula penjelasan Dr. Muhammad Abdullah Darraz, al-Qur’an memiliki dua nama, yaitu (1) al-Qur’an dan (2) al-Kitab. Dua nama ini mengindikasikan bahwa al-Qur’an sudah selayaknya terjaga kemurnian dan keotentikannya melalui riwayat yang semuanya shahih dan mutawatir ; bahwa disebut al-Kitab karena ia tertulis dalam lembaran-lembaran, sebagaimana ia juga disebut al-Qur’an karena ia tidak saja tertulis, tetapi juga dihafal hingga hari kiamat. Patut sekali diragukan hafalan seseorang jika tidak memiliki cantolan yang kuat dari redaksi al-Qur’an yang telah disepakati oleh generasi awal sahabat hingga generasi masa kini. Atau sebaliknya, disebut al-Qur’an palsu jika satu huruf pun tidak tertulis dalam lembaran yang tidak selaras dengan hafalan-hafalan umat Islam; hafalan dan tulisan berinterkoneksi, saling mengoreksi.[15]
Jadi, nama al-Qur’an mengisyaratkan pada makna yang pertama, yaitu membaca tanpa melihat teks, yang berarti menghafal. Sedangkan nama al-Kitab berisyarat pada makna yang kedua, yakni menulis dan menghimpunnya dalam lembaran-lembaran. Kata ‘kitab’ (كتاب) sendiri merupakan kata benda (mashdar/noun) memiliki arti objeknya (isim maf’ul), yaitu ‘yang ditulis’, maktub (مكتوب).[16]




BAB III
PERIODISASI JAM’UL-QUR’AN

Jam’ul-Qur’an terbagi menjadi tiga periode, yaitu (1) Periode Nabi, (2) Periode Khalifah Abu Bakar, dan (3) Periode Khalifah Utsman bin ‘Affan.[17]
Secara global, al-Qur’an pada periode Nabi belum terkumpul seluruhnya, teks-teks al-Qur’an yang ditulis masih terbentuk dalam dokumen-dokumen dan manuskrip-manuskrip dan dalam hafalan umat Islam kala itu: sebagian sahabat menghafal sebagian ayat, dan sebagian sahabat yang lain menghafal sebagian ayat yang lain.[18] Berbeda keadaannya pada masa kekhalifahan Sayyidina Abu Bakar, ayat-ayat al-Qur’an kendati telah terkumpul, namun masih belum terhimpun dan terbukukan.[19] Barulah pada era kekhalifahan Sayyidina Utsman bin ‘Affan, al-Qur’an telah terhimpun, terbukukan dalam mushaf yang utuh.[20]

A.    JAM’UL-QUR’AN PERIODE NABI
Rasulullah menaruh perhatian penuh dalam menjaga orisinalitas dan keotentikan al-Qur’an. Beliau sebagai penerima wahyu merupakan orang dengan kadar perhatian terhadap al-Qur’an paling tinggi di bandingkan para sahabat. Refleksi atas perhatian ini tampak dari kesungguhan beliau, menyuruh mereka menghafal, menuliskan, dan men-tadabbur-i (merenungkan) setiap ayat al-Qur’an yang diwahyukan kala itu.[21]
Di antara bentuk perhatian beliau ialah, ketika malaikat Jibril datang untuk menyampaikan wahyu, beliau tidak serta merta dan gegabah dalam mengutarakan wahyu yang beliau terima kepada para audien. Beliau terlebih dahulu mesti memahami maksud dan pengertian ayat tersebut, untuk kemudian menyampaikannya kepada para sahabat. Dalam hal ini, Allah mengajari Nabi:
لا تُحَرِّكْ بِهِ لِسَانَكَ لِتَعْجَلَ بِهِ إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ ثُمَّ إنَّ عَلَيْنَا بَيَانَهُ
Janganlah kamu menggerakkan lidahmu untuk (mengutarakan) al-Qur’an karena hendak terburu-buru (menguasainya). Sesungguhnya, atas tanggungan Kami lah mengumpulkannya (dalam jiwamu), dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacanya, maka ikutilah bacaan itu, kemudiaan atas tanggungan Kami lah penjelasannya.” (QS. al-Qiyamah [75]:16-19)[22]
Sebelum Jibril rampung dalam menyampaikan wahyu, Nabi selalu tanggap dan cepat memahami dan mengetahui maksud dari wahyu itu, sehingga beliau tanpa ragu langsung mengutarakannya kepada sahabat. Melalui ayat di atas, Allah pun menegur Nabi atas tindakan beliau ini, bahwa Nabi memiliki tugas memelihara dan dan menjaga al-Qur’an. Ketika Jibril sedang mewahyukan ayat, beliau hendaknya mendengarkan dan memerhatikannya secara seksama. Baru lah setelah proses pewahyuan itu selesai dan Jibril undur diri, Nabi bisa menyampaikan wahyu tersebut kepada mereka.[23]
Dengan ketelitian ini, sebagai seorang ummi (yang tidak dapat membaca dan menulis), Nabi menyampaikan ayat al-Quran yang diwahyukan oleh Allah tanpa perubahan sedikit pun, selaras dengan apa yang disampaikan oleh Jibril kepada Beliau.
Al-Quran ditulis langsung di hadapan Nabi yang berlanjut hingga beliau wafat. Setiap kali turun suatu ayat, beliau memanggil para penulis al-Quran. “Tulislah ayat ini pada tempat ini dari surat ini.”, beliau bersabda demikian. Para sahabat mengikuti petunjuk Nabi. Para sahabat yang ingin menulis secara tertib satu persatu ayat, senantiasa selaras dengan petunjuk Nabi itu. Semua mushaf kala itu seperti mushaf Abu Bakar, Ali, Zaid, Ibnu Mas’ud, dan Salim pada hakikatnya sama. Mereka begitu disiplin dalam melakukan pengoreksian di depan Nabi.

Al-Qur’an kala itu ditulis menggunakan Khat Kufi
Nabi tidak memperkenankan para sahabat untuk menulis apa pun yang muncul dari lisan beliau kecuali al-Qur’an. Hadis tentang larangan Nabi ini cukup populer di kalangan kita. “La taktubu ‘anni syai’an illa al-Qur’an, fa man kataba ‘anni syai’an falyamhuhu” (لا تَكْتُبُوا عَنِّي شَيْئًا إِلا الْقُرْآنَ فَمَنْ كَتَبَ عَنِّي شَيْئًا فَلْيَمْحُه). Nabi bersabda, “Jangan kalian tulis apa-apa dariku kecuali al-Qur’an, barang siapa menuliskannya, maka hapuslah.[24] Perintah hadis ini jelas bahwa ketika para sahabat menuliskan sesuatu selain al-Qur’an, Nabi memerintahkan mereka untuk segera menghapusnya. Hal ini–sebagaimana penjelasan Ibnu Katsir–agar tidak bercampur baur antara al-Qur’an dengan selainnya.[25]
Nabi tidak melulu membacakan wahyu, mengajari, dan mendorong mereka untuk mempelajari ayat demi ayat yang turun. Lebih dari itu, guna menjaga kemurnian al-Qur’an, Nabi memerintahkan mereka untuk mendokumentasikan ayat-ayat pada sejumlah benda sekitar, seperti batu, kulit hewan, pelepah kurma, dan sebagainya. Setiap datang wahyu, beliau mengajak para sahabat untuk menulis, mendikte mereka, dan para sahabat pun dengan tulus menuliskan setiap kalimat wahyu yang keluar dari lisan beliau. Aktivitas menulis ini berjalan secara kontinyu, sehingga sampai beliau wafat, ayat-ayat al-Qur’an tidak sedikit pun yang tidak tertulis.[26]
Di dalam al-Qur’an sendiri, al-Qur’an seringkali disebut sebagai al-Kitab, misalnya dalam ayat ke-2 surat al-Baqarah:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لا رَيْبَ فِيهِ
Kitab itu (al-Qur’an), tidak ada keraguan di dalamnya.” (QS. al-Baqarah [02]:02)[27]
Penyebutan al-Qur’an dengan al-Kitab merupakan sebuah kelaziman: bahwa al-Qur’an merupakan sesuatu yang ditulis, arti dari kata ‘al-Kitab’ sendiri. Penulisan (kitabah) merupakan sifat yang menetap bagi al-Qur’an dan tidak bisa terpisah darinya, selaras dengan sebuah ayat:
رَسُولٌ مِنَ اللَّهِ يَتْلُو صُحُفاً مُطَهَّرَةً. فِيهَا كُتُبٌ قَيِّمَةٌ
(Yaitu) seorang Rasul dari Allah yang membaca lembaran-lembaran yang disucikan. Di dalamnya terdapat (isi) kitab-kitab (tulisan-tulisan) yang lurus” (QS. al-Bayyinah [98]:2-3).[28]
Fakhruddin ar-Razi mengomentari ayat ini, bahwa di dalam shuhuf yangmerupakan bentuk plural dari kata shahifah (mushaf), terdapat tulisan-tulisan.[29] Banyak sekali hadis-hadis yang menunjukkan adanya ayat-ayat al-Qur’an kala itu. Di antaranya ialah larangan Nabi kepada para sahabat untuk membawa al-Qur’an jika pergi ke negeri musuh, sebagaimana dikatakan Ibnu Umar (أن رسول الله صلى الله عليه وسلم نهى أن يُسَافر بالقرآن إلى أرض العدو) (HR. Bukhari-Muslim).
Di antaranya lagi ialah, surat Nabi bagi Amr bin Hazm, bahwa hendaknya jangan menyentuh al-Qur’an kecuali dalam keadaan suci (أن لا يَمسَّ القرآنَ إلاّ طاهر) (HR. Malik, ad-Darimi, dan Abu Ubaid).
Selain itu, Nabi memiliki sekretaris dan penulis-penulis wahyu, diperintahkan untuk secara langsung menulis setiap kali Nabi menerima wahyu.[30] Arahan, bimbingan, dan instruksi dilakukan Nabi kepada para sekretaris beliau dalam menempatkan ayat-ayat yang turun sesuai suratnya. Ada tinjauan ulang, pemeriksaan, dan pengecekan yang dilakukan Nabi atas ayat-ayat yang telah mereka tulis. [31]

Kesungguhan Sahabat dalam Menjaga al-Quran
Para sahabat menghafal, membaca, menulis, dan mempelajari al-Qur’an dalam banyak waktu mereka, sehingga lahirlah para ahli al-Qur’an dari kalangan sahabat Nabi. Nabi memerintahkan untuk mempelajari al-Qur’an dari empat orang, yaitu: Abdullah bin mas’ud, Salim Maula Abi Hudzaifah, Mu’adz bin Jabal, dan Ubay bin Ka’b (HR. Bukhari).
Menurut as-Suyuthi, sebagaimana disebutkan oleh adz-Dzahabi dalam Thabaqatul-Qurra’, ada tujuh orang yang paling masyhur sebagai ahli al-Qur’an, yaitu Utsman bin Affan, Ali, Ubay, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Darda’, dan Abu Musa al-Asy’ari.[32]
Ibnu Hajar menuturkan, Abu Ubaid menyebutkan para ahli al-Qur’an secara lebih rinci pada masa Nabi. Dari kalangan Muhajirin laki-laki ialah Sayyidina Abu Bakar, Umar bin al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Hudzaifah, Salim, Abu Hurairah, Abdullah bin as-Saib, Ibnu Abi Dawud, Tamim bin Aus ad-Darimi, Uqbah bin Amir, dan al-‘Ubadalah. Sedangkan dari kalangan wanita ialah Aisyah, Hafshah, dan Ummu Salamah.
Sedangkan dari kalangan Anshar ialah, Ubadah bin as-Shamit, Mu’adz Abu Halimah, Majma’ bin Haritsah, Fudhalah bin Ubaid, Amr bin Ash, Sa’d bin Ubadan, Ummu Waraqah, dan Musallamah bin Mukhlid.[33]
Menurut Penuturan Muhammad bin Abdullah al-Hathi, jumlah para ahli al-Qur’an kala itu sejatinya lebih dari apa yang disebutkan oleh Ibnu Hajar. Sebab-sebagaimana akan kita saksikan nanti-setelah Nabi wafat, dan Abu Bakar menjadi Khalifah, terdapat tujuh puluh ahli al-Qur’an yang gugur dalam peperangan Yamamah. Hanya saja, ahli-ahli al-Qur’an yang paling terkenal, ialah mereka yang yang disebutkan oleh Ibnu Hajar dari kalangan Muhajirin dan Anshar.[34]
Dalam rangka memotivasi para sahabat untuk menghafal, menulis, dan mempelajari al-Qur’an, Nabi senantiasa memberi kabar gembira mengenai derajat yang tinggi di sisi Allah, dan ia memperoleh kesempatan menjadi imam dalam salat berjamaah dan dalam sejumlah aktivitas keagamaan yang lain. (HR. Bukhari-Muslim).
Suatu ketika, Nabi menyatakan kepada Ubay bin Ka’ab bahwa Allah memerintahkan Nabi untuk membacakan ayat dalam surat al-Bayyinah kepadanya: “Lam yakunil-ladzina kafaru min ahlil-kitabi wal-musyrikin”. Ubay bertanya, “Apakah Allah menyebutku?”. “Ya”, jawab Nabi. Ubay pun menangis karena gembira. Allah menyertakan nama Ubay bin Ka’ab dalam perintah-Nya kepada Nabi.
Di antara bukti kesungguhan sahabat dalam menjaga al-Qur’an ialah adanya Ashhabus-shuffah yang lebih mirip dengan madrasah  bagi para penghafal al-Qur’an. Ashhabus-shuffah ialah kumpulan orang-orang fakir yang tidak mempunyai tempat tinggal kecuali masjid Nabi. Mereka giat melantunkan al-Qur’an dalam setiap waktu yang mereka miliki, melakukan salat berjamaah bersama Nabi, dan mengaji hadits kepada beliau.[35]

Keislaman Umar
Di antara dalil yang menunjukkan keberadaan mushaf al-Quran dan pengajaran surat-surat al-Quran antara sahabat yang satu dengan yang lainnya ialah peristiwa yang dialami oleh Umar bin Khatthab sehingga ia memeluk Islam. Ketika sampai kepada beliau perihal keislaman saudarinya, Fatimah, dan suami saudarinya, Said bin Zaid, dia langsung melabrak keduanya. Dia meminta lampiran yang berisi surat Thaha, “Berikanlah kepadaku lampiran”, demikian ia memaksa. Termasuk dari sekian lampiran yang digunakan Khabbab bin al-Arati untuk mengajarkan al-Quran. Kebetulan lampiran tersebut bertuliskan permulaan surat Thaha:
{طه (1) مَا أَنْزَلْنَا عَلَيْكَ الْقُرْآنَ لِتَشْقَى (2) إِلَّا تَذْكِرَةً لِمَنْ يَخْشَى ... الأية} [طه: 1 - 3]
Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Quran ini kepadamu agar kamu menjadi susah. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah)…..” (QS. Thoha [20]: 1-3)[36]
Sebelum memberikan mushaf, Fathimah memerintahkan kepada Umar untuk mandi dan berwudhu lebih dulu. Setelah Umar mengiyakan perintah tersebut, Fathimah baru memberikannya dan Umar membaca surat Thaha hingga akhir surat. Umar pun terpesona dengan isi surat Thaha ini. “Tunjukkan Muhammad kepadaku.”, katanya. Khabbab kemudian bertutur, “Bergembiralah wahai Ibnul Khatthab, aku berharap semoga Allah memberimu hidayah Islam.” Khabbab pun menunjukkan Umar kepada Rasulullah yang saat itu sedang berada di Darul Arqam. Umar masuk Islam berkat doa Nabi, bahwa Nabi meminta kepada Allah untuk mengislamkan salah satu dari dua Umar (‘umaraini), Amr bin Hisyam atau Abu Jahal, dan Umar bin Khattab.[37]

Kegiatan Bacaan al-Quran Abu Bakar 
Pada permulaan tahun kenabian di Mekah, Abu Bakar diisolasi oleh orang Quraisy. Mereka menyiksa Abu Bakar sehingga ia harus keluar dari Mekah. Di tengah pengembaraannya keluar dari Mekah, ia bertemu Ibnu Dughunnah, salah satu pimpinan Qabilah Arab. “Orang sepertimu tidak pantas keluar dari Mekah”, demikian ia berkata kepada Abu Bakar agar menghentikan inisiatifnya untuk meninggalkan Mekah. Abu Bakar bercerita kepadanya mengenahi kekejaman Quraisy sehingga berujung isolasi. “Kembalilah ke Makkah bersamaku. Aku akan menyelamatkanmu dari mereka”, Ibnu Dughunna menjamin keselamatannya. Abu Bakar pun kembali ke Mekah dan banyak meluangkan waktunya untuk membaca al-Quran di masjid dengan suara lantang. Para tetangga yang melihat dan mendengarkan bacaannya membuat mereka tertarik.
Orang Quraisy merasa khawatir, takut-takut bacaan al-Quran Abu Bakar membuat terpesona keluarga mereka. Mereka mendemo Ibnu Dughunnah  sekaligus meminta supaya dia mencegah Abu Bakar dari pekerjaannya membaca al- Quran. Ibnu Dughunnah menyatakan kepada Abu Bakar sebagaimana yang orang Quraisy minta, namun ia tolak. Ibnu Dughunnah pun memberikan solusi agar Abu Bakar membaca al-Quran dengan suara pelan.[38]


Masa Akhir Hidup Nabi
Dalam hadits Abu Umamah al-Bahili yang masyhur diriwayatkan oleh mayoritas ahli hadits disebutkan, bahwa ketika haji Wada, Rasulullah berdiri di atas unta. Beliau berseru, “Wahai manusia, ambillah ilmu sebelum ilmu tersebut dicabut dan sebelum diangkat dari bumi.” Dalam akhir hadits ini beliau bersabda, “Ingatlah, hilangnya ilmu bersamaan dengan tiadanya para pengemban ilmu itu.”
Kemudian, orang pedalaman bertanya kepada Nabi, “Wahai Nabi Allah, bagaimana ilmu bisa diangkat dari kami sementara di tengah-tengah kami terdapat banyak mushaf. Kami mempelajari kandungan isinya dan kami juga mengajarkannya kepada anak-anak, istri-istri dan pembantu-pembantu kami?” Nabi mengangkat kepala seraya geram, “Mereka orang-orang Yahudi dan Nashrani juga mempunyai banyak mushaf namun tidak ada satu huruf pun yang melekat pada mereka dari apa yang dibawa oleh para nabi mereka.”  Demikian sabda beliau.
Peristiwa ini terjadi pada hampir masa kewafatan Nabi selang tiga bulan, waktu haji Wada. Ini jelas bukti bahwa mushaf pada masa memang benar-benar ada, dan mengindikasikan perintah adanya upaya kodifikasi setelah Nabi wafat. [39]
Ada riwayat yang terdapat dalam Shahih Bukhari dari Ibnu Abbas, beliau berkata, bahwa ketika Nabi sakit keras, beliau mengatakan, “Datangkanlah kepadaku mushaf, maka aku tuliskan kepada kalian kitab yang mana kalian tidak akan tersesat setelahnya.”[40]

Tentang Sab’atu Ahruf (Tujuh Huruf)
Rasulullah bersabda, “Al-Quran diturunkan dengan sab’atu ahruf”. Maksudnya, al-Qur’an diturunkan dengan tujuh model bacaan. Sebagian dari lafadz al-Quran terkadang beragam ketika dibaca atau ditulis, akan tetapi pokok makna yang dimaksud tetap sama walaupun berbeda cara membaca, menulis maupun intonasinya, tetapi semua ini tidak menyalahi tujuh model bacaan ini (sab’atu ahruf). Konon, kebanyakan orang Arab mengikuti bahasa suku-suku Arab yang biasa digunakan kala itu, yaitu bahasa suku Quraisy, Hudzail, Tsaqif, Hawazin, Kinanah, Tamim, dan Yaman. Bahasa-bahasa di atas merupakan bahasa yang paling fasih. Ketika seseorang membaca mushaf, dia akan menemukan perbedaan pelafalan di dalamnya.
Hikmah yang terkandung ialah untuk memudahkan penyebaran al-Quran, terlebih pada masa awal keislaman penduduk Arab saat itu. Nabi sendiri mengiyakan setiap model bacaan dari tujuh model bacaan itu, asal tidak keluar darinya. Para ahli  al-Quan (qurra’) sahabat berbeda dalam membaca. Mereka senantiasa melaporkan hal ini kepada Nabi. Mereka tahu bahwa bacaan mereka tidak keluar dari tujuh model bacaan yang telah dijelaskan di atas. [41]Hal ini selaras dengan penjelasan al-Quran:
{فَإِنَّمَا يَسَّرْنَاهُ بِلِسَانِكَ لِتُبَشِّرَ بِهِ الْمُتَّقِينَ وَتُنْذِرَ بِهِ قَوْمًا لُدًّا} [مريم: 97]
Maka sesungguhnya telah Kami mudahkan al-Quran itu dengan bahasamu, agar kamu dapat memberi kabar gembira dengan al-Qur‟an itu kepada orang-orang yang bertaqwa dan agar kamu memberi peringatan dengannya kepada kaum yang membangkang.” (QS. Maryam [19]: 97)

{إِنَّا جَعَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ} [الزخرف: 3]
Sesungguhnya kami menjadikan al-Qur‟an dalam bahasa Arab supaya kamu memahami(nya). (QS.
az-Zukhruf [43]: 2)

{قُرْآنًا عَرَبِيًّا غَيْرَ ذِي عِوَجٍ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ} [الزمر: 28]
 “(ialah) al-Qur‟an dalam bahasa Arab yang tidak ada kebengkokan (didalamnya) supaya mereka bertaqwa.” (QS. Az- Zumar [39]: 28)
Sab’atu ahruf di sini yang dimaksud ialah tujuh model bacaan sehingga saat ini kita temukan Qira’atus-Sab’ah. Karenanya, pelafalan dan pembacaan al-Qur’an tidak boleh keluar dari tujuh model bacaan ini, demikian menurut salah satu pendapat.[42]
Kebanyakan mushaf di masa nabi tidak memuat seluruh model bacaan, tetapi biasanya satu, dua atau tiga model saja. Tetapi ada mushaf memuat model bacaan bahkan hingga seluruh model, tergantung kejelian masing-masing shahabat yang mengikuti penulisan mushaf tersebut. Ini merupakan perbedaan yang bisa ditoleransi, tetapi mereka tidak mampu menahan perbedaan tersebut walaupun bisa ditoleransi. Rasulullah, manakala terjadi kasus seperti ini, beliau senantiasa mendukung bacaan mereka asal tidak keluar dari tujuh model itu. “Seperti itulah ayat diturunkan kepadaku.”, demikian beliau mengoreksi dan membenarkan.[43]

B.     JAM’UL-QUR’AN PERIODE ABU BAKAR
Abu Bakar dilantik menjadi Khalifah berdasarkan mufakat umat Islam kala itu, sesudah Rasulullah wafat. Khalifah Abu Bakar dihadapkan pada peristiwa besar, umat Islam tidak sedikit yang murtad. Sang Khalifah bersegera menyiapkan pasukan di bawah komando Khalid bin Walid untuk memerangi orang-orang yang murtad itu. Peperangan Yamamah yang terjadi pada tahun 12 setelah hijrah ini menggugurkan tujuh puluh sahabat dari kalangan para penghafal dan ahli al-Quran.[44]
Merasa khawatir atas peristiwa ini, sahabat Umar bin Khatab menghadap Abu Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar melakukan pengumpulan al-Qur’an, lantaran ia khawatir akan terjadi hal serupa pada peristiwa peperangan selanjutnya. Pada mulanya, Khalifah Abu Bakar menolak usulan Umar ini, sebab tidak pernah dilakukan oleh Nabi kala beliau masih hidup. Tetapi Umar tak henti merayunya, hingga Allah membukakan hati Abu Bakar untuk menerima usulan Umar tersebut.
Selanjutnya, Abu Bakar memerintahkan Zaid bin Sabit, sahabat yang skil qiraat, penulisan pemahaman, dan kecerdasannya, tidak diragukan lagi. Abu Bakar menceritakan kepadanya kekhawatiran dan usulan Umar. Sebagaimana Abu Bakar, pada mulanya Zaid juga tidak berkenan. Keduanya lalu sharing dan bertukar pandangan, hingga akhirnya Zaid dapat menerima dengan lapang dada perintah penulisan Qur’an dari Sang Khalifah.[45]
Zaid bin Sabit mengemban tugas ini berdasarkan hafalan pakar-pakar al-Qur’an dan dokumen-dokumen yang ada pada para penulis wahyu. Setelah seluruh al-Qur’an terkumpul, Zaid memberikan semuanya ke tangan Abu Bakar. Abu Bakar pun memiliki otoritas menyimpan semua lembaran-lembaran itu. Kendati pada masa pemerintahan Abu Bakar sudah dilakukan pengumpulan al-Quran surat persurat dan ayat perayat, akan tetapi para sahabat tetap masih mempunyai simpanan catatan apa yang telah mereka punyai sejak Rasul masih hidup. [46]

Mushaf Ali dan Abu Bakar
Imam Waki’ meriwayatkan dari as-Suddiy dari Abdi Khoir dari Sayyidina Ali, berkata, “Orang yang paling banyak pahalanya dalam mengurusi mushaf ialah Abu Bakar. Dia merupakan orang pertama kali yang mengumpulkan al-Quran di antara dua sampul (pada era kekhalifahannya).”
Di sisi lain, Sayyidina Ali merupakan orang pertama yang mengumpulkan al-Quran (dalam satu mushaf) dan itu dikuatkan oleh Abu Bakar. Pada masa-masa awal kekhalifahan Abu Bakar, sayyidina Ali bin Abi Thalib tidak keluar rumah. Seseorang berkata kepada Abu Bakar, “Ali tidak suka membaiatmu.” Kemudian Abu Bakar mengirim utusan memanggil Ali. Setelah Ali tiba, Abu Bakar bertanya, “Apakah benar Anda tidak suka membaiatku?” Sayyidina Ali menjawabnya, “Aku melihat kitab Allah ada penambahan di dalamnya, maka aku berjanji kepada diriku sendiri bahwa aku tidak akan mengenakan selendangku untuk shalat hingga aku mengumpulkannya sendiri”. Kemudian Abu Bakar berkata kepadanya: “Maka sesungguhnya itu adalah sebaik-baiknya apa yang engkau lihat.”[47]
Dengan demikian, kita dapat mengetahui bahwa masing-masing keduanya mengumpulkan al-Quran dalam mushafnya sendiri-sendiri. Dalam kitab al-Itqan hlm. 196 dijelaskan: Di dalam kitab Muwaththo‟ Ibnu Wahb disebutkan riwayat dari Malik dari Ibnu Syihab dari Salim bin Abdillah bin Umar, beliau berkata: “Abu Bakar mengumpulkan al- Quran dalam kertas-kertas, dan beliau meminta kepada Zaid bin Tsabit tapi beliau menolaknya, hingga Abu Bakar meminta pertolongan Umar kemudian beliau melaksanakannya. [48]
Dari Ibnu Syihab, beliau berkata: Ketika kaum muslimin kalah dalam perang Yamamah, maka Abu Bakar kaget dan khawatir akan hilangnya sebagian dari al-Quran. Kemudian kaum muslimin menghadap kepada Abu Bakar dengan membawa hafalan dan tulisan mereka, lalu dikumpulkan pada masa Abi Bakar dalam kertas. Dari penjelasan panjang di atas, maka, Abu Bakar adalah orang pertama kali mengumpulkan al-Quran ke dalam satu mushaf (di masa khilafahnya dan di antara dua sampul).[49]
Ini tidak bertentangan dengan mushaf Ali yang juga disebut sebagai mushaf pertama yang dikumpulkan. Sayyidina Ali sendiri berkata, “Orang yang pertama kali mengumpulkan al-Qur’an antara dua sampul, dan yang paling banyak jasanya pada manusia, ialah Abu Bakar”.[50] Kekhawatiran Abu Bakar menunjukkan rasa prihatin beliau, al-Quran tidak terbukukan, sebab faktanya keberadaan al-Quran diriwayatkan melalui jalur mutawatir. Setelah masa kekhalifahan pertama habis dan Abu Bakar wafat pada tahun 13 H, lembaran-lembaran itu berpindah ke pihak dan otoritas Khalifah kedua, Sayyidina Umar bin Khattab.

Mushaf Pada Masa Khalifah Umar Bin Khattab
Pada masa khilafah Umar bin Khatthab mushaf telah menyebar dan beliau mencermati hal ini. Beliau menyukai mushaf-mushaf dengan tulisan al-Qur’an yang besar. Dan beliau tidak menyukai mushaf dengan tulisan ayat al-Qur’an yang kecil. “Besarkanlah tulisan kitab Allah.” Sang Khalifah menganjurkan.
Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab pernah menjumpai mushaf yang dibawa seseorang. Orang tersebut menulis mushaf dengan tulisan yang kecil. Beliau marah dan memukulnya, sembari berkata, “Besarkanlah tulisan kitab Allah.” Beliau mentakzir orang yang menulis al-Quran dengan huruf-huruf yang kecil hingga menyulitkan bagi pembaca. Kemudian mushaf  berpindah ketangan Hafsah putri Umar, setelah kewafatan khalifah yang kedua ini.[51]

C.    JAM’UL-QUR’AN PERIODE KHALIFAH UTSMAN
Pada era Utsman, diketahui perbedaan bacaan di kalangan umat Islam dan umat Islam telah tersebar ke berbagai wilayah. Khalifah Utsman mengintruksikan kepada umat Islam untuk menyatukan dokumen-dokumen al-Qur’an milik para sahabat, agar tidak ada lagi perbedaan dan perpecahan.[52]
Dalam Shahih-Bukhari diriwayatkan, setelah pembebasan Armenia dan Azerbaijan, Hudzaifah bin Yaman mendatangi Utsman bin Affan. Hudzaifah dikejutkan oleh perbedaan-perbedaan umat Islam dalam membaca al-Quran. Dia berkata kepada khalifah Utsman, “Satukanlah umat ini sebelum mereka bercerai-berai laksana tercerai-berainya kalangan Yahudi dan Nasrani”. Sang Khalifah pun meminta dokumentasi al-Qur’an yang berada di tangan Hafshah binti Umar, “Serahkanlah seluruh lembaran-lembaran al-Qur’an yang ada padamu, untuk kami kumpulkan dalam suatu mushaf.”. Hafshah pun memberikannya.
Kemudian, Khalifah Utsman memerintahkan Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Al Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam supaya memindahkan isi lembaran-lembaran tersebut ke dalam satu mushaf. Zaid bin Tsabit merupakan orang Anshar, sedang tiga orang lainnya dari kaum Quraisy. Utsman menekankan kepada tiga orang tersebut: “Bila kamu bertiga dan Zaid berbeda tentang sesuatu dari al-Qur’an, tulislah dengan bahasa kaum Quraisy, karena ia diturunkan dengan bahasa mereka”.

Selembar al-Qur’an yang ditengarai ada pada masa Khalifah Utsman
Para penghimpun tersebut melaksanakan perintahUtsman berdasarkan prinsip yang ia utarakan, hingga akhirnya seluruh lembaran-lembaran itu terkumpul dalam mushaf. Setelah terkumpul, lembaran-lembaran itudikembalikan lagi kepada Hafshah. Setiap bagian kawasan Islam ketika itu diberi satu mushaf sebagai standar. Utsman setelah itu memerintahkan selain mushaf standar ini agar dibakar.[53]
Khalifah Utsman bin Affan tidak melakukan penghimpunan al-Qur’an berdasarkan kemauannya sendiri, melainkan setelah mengadakan musyawarah dengan para sahabat lainnya.[54]
Ibnu Abi Daud meriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau berkata: “Demi Allah, tidaklah Utsman berbuat ini kecuali di hadapan kami (kalangan sahabat)”. Ustman bertutur, “Saya bermaksud menyatukan manusia (umat Islam) dalam satu mushaf, hingga tidak terjadi lagi perpecahan dan perbedaan”. Kami menjawab: “Alangkah bagusnya yang kau usulkan itu”.[55]
Mush’ab bin Sa’d berkata, “Saya melihat manusia jumlahnya banyak sekali ketika Utsman membakar mushaf-mushaf (selain satu mushaf yang telah disatukan). Mereka terkagum-kagum pada keputusan khalifah Utsman”. Keputusan ini merupakan kebajikan Khalifah Utsman bin Affan yang disepakati oleh kaum muslimin, serta penyempurnaan atas penghimpunan yang telah dilakukan pada era khalifah Abu Bakar.[56]
Para sahabat sepakat untuk mengikuti apa yang ada dalam mushaf Abu Bakar dan meninggalkan selainnya. Dengan demikian tepatlah pendapat Khalifah Utsman dan para tokoh sahabat untuk membentuk sebuah tim beranggotakan empat orang, ada yang mengatakan lima atau tujuh orang, yang bertugas menghimpun mushaf.
Adapun anggota tim dengan empat orang yaitu, (1) Zaid bin Tsabit, sebagai kepala tim. “Kau adalah pemuda yang cerdas, kami tidak mencurigaimu, dan dahulu kau penulis al-Quran Rasulullah”, demikian kata  Abu Bakar kepadanya. (2) Abdullah bin az-Zubair bin al-Awwam al-Asadi, (3) Said bin al-Ash al-Umawi, dan (4) Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam al-Makhzumi.[57]
Riwayat Abu Dawud melalui sanad Muhammad bin Sirin menyebutkan bahwa anggota tim berjumlah dua belas sahabat yang berkompeten. Mereka tidak disebut karena sebagian tidak teridentifikasi namanya yaitu, Ibnu Abbas, sang Tarjumanul-Qur’an, Ubai bin Kab al- Anshari sebagai ahli al-Quran yang masyhur, Anas bin Malik sebagai khadim Nabi.[58]
Mushaf yang ditulis berjumlah tujuh mushaf yang mana masing-masing dikirim menuju Bashrah, Kufah, Yaman, Bahrain, Makkah dan Syam. Sedangkan mushaf yang ketujuh tetap berada di Madinah yang dipegang oleh Khalifah Utsman sebagai kepala negara. Mushaf ini dijuluki al-Mushaf al-Imam (Mushaf Induk). Ini sekadar nama saja, karena ketujuh mushaf tersebut berfungsi sebagai mushaf induk bagi masing-masing daerah. Dari kelima mushaf tersebut juga dikirim seorang ahli bacaan al-Quran. [59]

Manuskrip al-Quran yang diklaim tertua ditemukan di Yaman
Selanjutnya, orang yang hendak menulis al-Quran harus cocok dengan mushaf Utsmani ini; dalam segi rasm, yaitu yang menggambarkan bentuk tulisan kalimat sesuai dengan huruf ejaannya, baik permulaan dan akhirnya atau di dalam lahjah (intonasi)[60]
Kejelian dan ketelitian para pemuka sahabat pada saat menulis mushaf Abu Bakar kala itu tak ubahnya kejelian dan ketelitian mereka menulis al-Quran pada masa Utsman. Sayyidina Ali berkata, “Janganlah kalian berkata tentang Utsman kecuali kebaikan. Maka demi Allah, ia tidaklah menyusun mushaf kecuali ia mengambilnya dari segolongan kita.”[61] Dalam riwayat lain, Sayidina |Ali berkata, “Andaikan posisiku seperti Utsman, niscaya aku kerjakan apa yang telah ia kerjakan.” [62]



BAB IV
PEMBAGIAN AYAT DAN SURAT DI DALAM AL-QUR’AN

A.    DEFINISI SURAT DAN AYAT
Al-Quran terdiri dari surat-surat dan ayat-ayat, baik yang panjang maupun yang pendek. Ayat adalah sejumlah kalam Allah yang masuk dalam surat al-Qur’an. Sedangkan surat adalah sejumlah ayat-ayat al-Quran yang bermula dan berakhir.[63] Ada pula yang menambahkan bahwa surat harus terdiri minimal tiga ayat, seperti surat al-Ashr.

B.     PENGURUTAN AYAT
Pengurutan ayat di dalam al-Qur’an merupakan tauqifi (ketentuan) dari Nabi, sebagaimana ijmak (mufakat) yang dikatakan oleh az-Zarkasyi dalam kitab al-Burhan, dan Abu Jakfar bin az-Zubair. “Pengurutan ayat-ayat di dalam al-Quran terjadi melalui tauqif dan perintah dari Nabi, tanpa ada perselisihan”, demikian Abu Jakfar bertutur. Hal ini juga didukung oleh as-Suyuthi, “Ada ijmak dan nash-nash yang menunjukkan bahwa pengurutan ayat-ayat merupakan ketentuan dari Nabi, tidak ada keraguan dalam hal ini”
Sembari Jibril menyampaikan wahyu, ia juga menunjukkan tempat surat dan ayat kepada Nabi. Setelah itu, Nabi memanggil para penulis al-Qur’an untuk menuliskan wahyu yang baru saja beliau terima sesuai apa yang diktunjukkan Jibril. Nabi misalnya berkata, “Letakkan ayat-ayat ini pada surat ini dan itu, setelah ini, dan setelah itu” (ضعوا هذه الآيات في السورة التي يُذكر فيها كذا أو كذا، أو ضعوا آية كذا في موضع كذا)
Diriwayatkan dari Ustman bin ‘Ash, ia bercerita bahwa ia sedang duduk bersama Nabi. Ia mendapati Nabi mendongakkan matanya, kemudian membenarkan. Setelah itu, Nabi mengatakan, “Jibril mendatangiku. Ia memerintahku untuk meletakkan ayat ini di sini dari surat yang berbunyi:
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَى... الأية"
Khalifah Utsman tidak mengubah letak ayat dalam melakukan aktivitas jam’ul-Qur’an. Ibnu Zubair menyodorkan sebuah ayat, lalu ia bertanya kepada Khalifah “Ayat ini telah di-nasakh oleh ayat yang lain, apakah engkau akan menuliskannya  atau tidak?” Sayyidina Utsman menjawab, “Wahai anak saudaraku, aku tidak mengubah sesuatu dari tempatnya”
Peengurutan ayat-ayat ini tidak boleh diganti, sebab jika boleh, maka hadis-hadis yang menjelaskan pengurutan ayat-ayat tidak diamalkan atau tidak digunakan. Dalam shalat maktubah, Nabi senantiasa membaca ayat secara urut dalam setiap rakat atau dalam salat yang lain[64]
Mengenai hal ini, Imam Suyuthi menjelaskan bahwa Nabi selalu disaksikan para sahabat ketika beliau membaca ayat al-Qur’an secara berurutan. Dan sahabat tidak pernah menulis al-Quran dengan urutan ayat yang tidak sesuai dengan ayat yang diajarkan Jibril kepada Nabi. Ini telah diriwayatkan oleh jalur mutawatir.[65]
Jibril juga mendatangi Nabi setahun sekali dalam bulan Ramadan, guna mengoreksi wahyu yang beliau terima. Dan di akhir sebelum kewafatan Nabi, Jibril mendatangi Nabi dua kali dalam setahun.[66]

C.    PENGURUTAN SURAT
Berbeda dengan ayat, perihal pengurutan surat di dalam al-Qur’an terdapat tiga pandangan: (1) pandangan yang menyatakan bahwa urutan surat merupakan tauqifi dari Nabi, (2) pandangan yang menyatakan bahwa pengurutan surat-surat itu berdasarkan ijtihad para sahabat, dan pandangan yang menyatakan ada urutan surat yang tauqifi dan ada yang berdasarkan ijtihad.
Pendapat pertama menyatakan bahwa urutan surat-surat itu taufiqi, sesuai yang kabarkan Jibril atas perintah Allah. Surat-surat al-Qur’an pada masa Nabi telah urut sebagaimana ayat-ayatnya. Urutan surat-surat pada masa Nabi tidak berbeda dengan urutan surat-surat pada era kekhalifahan Utsman bin Affan. Rasulullah selalu membaca surat secara urut dalam salat beliau. Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi membaca surat-surat mufasshal dalam satu rakaat salat.[67]
Sedangkan pendapat kedua menyatakan bahwa, ternyata ada perbedaan urutan di dalam mushaf-mushaf sahabat. Misalnya mushaf Ali disusun menurut tertib nuzul, yakni dimulai dengan Iqra’, kemudian surat al-mudassir, lalu Nun dan seterusnya higga akhir surat makiah dan madaniyah. Adapun dalam mushaf Ibn Masud yang pertama ditulis adalah surat al-Baqarah kemudian an-Nisa lalu Ali-Imran. Sedangkan dalam mushaf Ubay yang pertama ditulis adalah al-fatihah, al-Baqarah, an-Nisa’,lalu Ali Imran. [68]
Sedangkah pendapat terkhir berargumen bahwa, terdapat dalil yang menunjukkan pengurutan sebagian pada masa Nabi, misalnya keterangan yang menunjukkan tertib as-sab’u ath-thiwal , al-hawanim dan al-mufassal  pada masa hidup beliau. Nabi misalnya pernah bersabda, “Bacalah az-Zahrawain, al-Baqarah dan Ali Imran.[69]
Pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa pengurutan surat-surat bukan dari Nabi, merupakan pendapat yang lemah. Sebab, ijtihad sahabat dalam mengurutkan surat-surat pada masa Nabi merupakan ikhtiyar mereka sendiri, sebelum al-Qur’an terbukukan dalam satu mushaf utuh. Ketika al-Quran telah terbukukan secara utuh pada masa Khalifah Utsman, dengan mengurutkan ayat-ayat dan surat-surat, dan umat Islam telah bersepakat mengenai hal ini kala itu, mereka membakar mushaf-mushaf sahabat lain yang berbeda dengan mushaf Ustmani yang telah utuh terbukukan. Seandainya pengurutan surat-surat merupakan ijtihad para sahabat, maka umat Islam pada masa Ustman akan berpegang teguh pada ijtihad-ijtihad mereka.
Adapun pendapat yang ketiga yang menyatakan bahwa urutan sebagian surat merupakan tauqifi dan yang lain ijtihadi, sejatinya hanya berpaku pada nash-nash hadis yang menunjukkan bahwa urutan surat-surat itu tauqifi. Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa urutan ayat-ayat itu ijtihadi. Sebab, ketetapan tauqifi beserta dalil-dalilnya tidak menunjukkan bahwa yang selain itu ijtihadi. Imam Suyuthi bertutur bahwa, al-Qur’an pada masa Nabi, surat-surat dan ayat-ayatnya telah urut, kecuali surat al-Anfal dan Bara’ah li-haditsi Utsman.
Dengan demikian, pendapat yang paling unggul ialah pendapat yang pertama: urutan surat-surat al-Qur’an merupakan tauqifi dari Nabi, yang disampaikan oleh malaikat Jibril dari Allah.[70]

D.    PEMBAGIAN SURAT
Surat-surat dalam al-Qur’an ada empat bagian, yaitu (1) ath-Thiwaal, (2) al-Mi’in, (3) al-Matsaani, dan (4) al-Mufashshal.

1.      Ath-Thiwaal terdiri dari al-Baqarah, Ali ‘Imran, an-Nisa’, al-Ma’idah, al-An’am, al-A’raf, dan al-Anfal. Mengenai yang terakhir ini, ada pendapat yang mengatakan bahwa ia adalah surat al-Anfal digabung dengan surat Bara’ah (at-Taubah) karena tidak ada pemisahan antara keduanya dengan Basmalah. Menurut pendapat yang lain, yang ketujuh adalah surat Yunus.

2.       Al-Mi’un yaitu surat-surat yang jumlah ayatnya lebih dari seratus ayat, atau mendekati seratus.

3.      Al-Matsaani yaitu surat-surat yang jumlah ayatnya di bawah al-Mi’uun. Dinamakan al-Matsaani, karena surat itu diulang-ulang dalam bacaannya (sering dibaca), lebih banyak jika dibandingkan dengan surat ath-Thiwaal dan al-Mi’uun.

4.      Al-Mufashshal, bermula dari surat Qaaf. Pendapat lain mengatakan bermula dari surat al-Hujurat.

Al-Mufashshal dibagi menjadi tiga, yaitu (1) Thiwal al-Mufashshal, dimulai dari surat Qaaf atau dari surat al-Hujurat hingga surat an-Naba’ atau hingga surat al-Buruj, (2) Ausath al-Mufashshal, dari surat an-Naba’ atau dari surat al-Buruj hingga surat adh-Dhuha atau hingga surat al-Bayyinah, dan (3) Qishar al-Mufashshal,  dari surat adh-Dhuha atau dari surat al-Bayyinah hingga akhir al-Qur’an. Dinamakan al-Mufashshal karena banyaknya fashl (pemisahan) antar setiap surat dengan Basmalah. [71]

E.     JUMLAH SURAT DAN AYAT
Surat dalam al-Qur’an terdiri dari 114. Pendapat lain mengatakan berjumlah 113, surat al-Anfal dan at-Taubah menjadi satu surat. Adapun jumlah ayatnya ada 6200 lebih. Ulama berbeda pandapat perihal jumlah lebihnya tersebut. Ayat yang terpanjang adalah ayat ad-Dain (ayat utang piutang, yaitu ayat 282 surat al-Baqarah) dan surat terpanjang adalah surat al-Baqarah. [72]

BAB V
PENUTUP DAN KESIMPULAN
Nabi dan para sahabat telah menaruh perhatian penuh terhadap al-Qur’an. Refleksi atas perhatian ini tampak dari kesungguhan beliau dan para sahabat, menghafal, menuliskan pada benda-benda, dan men-tadabbur-i (merenungkan) setiap ayat al-Qur’an yang diwahyukan kala itu.
Pengumpulan mushaf pada masa Abu Bakar adalah dalam bentuk pemindahan dan penulisan al-Quran ke dalam satu mushaf yang ayat-ayatnya sudah tersusun, berasal dari tulisan yang terkumpul dari kepingan-kepingan  batu, pelepah kurma dan  kulit-kulit binatang. Adapun latar belakangnya karena banyak ahli al-Qur’an yang gugur.
Pengumpulan mushaf pada masa Usman bin Affan adalah menyalin kembali mushaf yang telah tersusun pada masa Abu Bakar, dan akhirnya dikirimkan ke seluruh Negara Islam kala itu. Latar belakangnya  adalah perbedaan dalam hal membaca al-Quran.
Urutan ayat-ayat itu tauqifi, dan sudah disepakati oleh para ulama. Sedangkan ada perbedaan pendapat mengenai urutan surat. Pendapat pertama menyatakan bahwa surat-surat di dalam al-Qur’an merupakan tauqifi dari Nabi. Pendapat yang lain menyatakan bahwa tidak kesemuanya tauqifi, ada pula yang hasil ijtihad para sahabat. Ada juga yang berpendapat bahwa semuanya ijtihadi. Tetapi, pendapat yang paling kuat ialah pendapat yang menyatakan bahwa urutan surat-surat itu tauqifi.
Surat-surat dalam al-Qur’an ada empat bagian, yaitu (1) ath-Thiwaal, (2) al-Mi’in, (3) al-Matsaani, dan (4) al-Mufashshal. Dan al-Mufashal dibagi menjadi tiga: (1) Thiwal al-Mufashshal, (2) Ausath al-Mufashshal, dan (3) Qishar al-Mufashshal. Wallahu a’lam.[]




[1] Ali bin Sulaiman al-‘Abid, Jam’ul-Qur’an al-Karim Hifzhan wa Kitabatan, Maktabah Syamilah, hal. 4; Al-Fayumi Ahmad bin Muhammad, Qamus al-Mishbah al-Munir, Dar El-Fikr Beyrouth Leban, hal. 63
[2] Ustad Musyarik Riyadh, Jam’ul-Qur’an al-Karim fi ‘Ahdil-Khulafa’ ar-Rasyidin, Maktabah Syamilah, hal. 5
[3] Ibnu Manzhur Jamaluddin, Lisanul-‘Arab, Maktabah Syamilah, vol. 1, hal. 128
[4] Jam’ul-Qur’an al-Karim fi ‘Ahdil-Khulafa’ ar-Rasyidin, hal. 5
[5] Yusuf bin Abdullah al-Hathi, Al-‘Inayah bil-Qur’an al-Karim fil-‘Ahdi an-Nabawi asy-Syarif, Maktabah Syamilah, hal. 6
[6] Ali Ash-Shabuni, At-Tibyan fi ‘Ulumil-Qur’an, Maktabah al-Ghazali, hal. 6
[7] Syekh Muhammad Salim, Tarikhul-Qur’an al-Karim, Rabithah al-‘Alam al-Islami 1402.
[8] Zakariya al-Anshari, Ghayatul-Wushul Syarh al-Ushul, al-Haramain, hal. 33-34
[9] Al-Mausu’ah, hal. 7
[10] Ghayatul-Wushul, hal. 33
[11] Al-Qatthan, al-Mahabhits fi ‘Ulumil-Qur’an, Maktabah Syamilah, hal. 119 dan 123
[12] Terjemah al-Qur’an Aplikasi Android
[13] Az-Zamakhsyari Abul-Qasim, al-Kassyaf ‘an Haqaiqi Ghawamidit-Tanzil, Maktabah Syamilah, vol. 6, hal. 269
[14] Jam’ul-Qur’an Hifzhan, hal. 5
[15] Dr. Muhammad Abdullah Darraz, An-Naba’ al-‘Azhim, Maktabah Syamilah, hal. 12-13
[16] Jam’ul-Qur’an Hifzhan, hal. 6-7
[17] Al-Mahabhits fi ‘Ulumil-Qur’an, hal.  123, 126, dan 129
[18] Al-Qurthubi Syamsuddin, Tafsir al-Qurthubi al-Jami’ li Ahkamil-Qur’an, Maktabah Syamilah, vol. 1, hal.  49; Ibnu Hajar al-‘Asqalani, Fathul-Bari li Ibni Hajar, Maktabah Syamilah, vol. 9, hal. 12
[19] Al-Mahabhits fi ‘Ulumil-Qur’an, hal 126
[20] Ibid, hal. 170
[21] Al-‘Inayah, hal. 51
[22] Terjemah al-Quran Aplikasi Android
[23] Ibid, hal. 52
[24] Ibnul-Jauzi, Ikhbari Ahlir-Rusukh fil-Fiqh wat-Tahdits bi Miqdaril-Mansukh minal-Hadits, Maktabah Syamilah, hal. 55
[25] Al-‘Inayah, hal. 53
[26] Jam’ul-Qur’an Hifzhan, hal. 20
[27] Terjemah al-Qur’an Aplikasi Android
[28] Ibid
[29] Ar-Razi Fakhruddin, Mafatihul-Ghaib at-Tafsir al-Kabir, Maktabah Syamilah, vol. 32, hal. 42
[30] Jam’ul-Qur’an Hifzhan, hal. 21-22
[31] Ibid, hal.23
[32] As-Suyuthi Jalaluddin, Al-Itqan fi ‘Ulumil-Qur’an, Maktabah Syamilah, vol. 1, hal. 204
[33] Fathul Bari, vol. 8, hal. 668
[34] Al-‘Inayah, hal. 40
[35] Ahmad Yasir, artikel di Buletin Sidogiri, edisi 32
[36] Terjemah al-Qur’an Aplikasi Android
[37] Ibnul Arabi Abu Bakar, Ahkamul-Qur’an lib-Ni Arabi, Maktabah Syamilah, vol. 4, hal. 176
[38] ‘Ardhul-Adillah, hal-31-32
[39] Asy-Syatiri Muhammad bin Ahmad, 'Ardlul Adillah wal-Barohin ‘ala Kitabatil-Mashahif Kamilatan fi Hayati Sayyidil Mursalin Shallallahu ‘alaihi Wasallam wa fi ’Ahdil-Khulafa'ir-Rasyidin, PDF, hal. 44-45
[40] Al-Bukhari Muhammad bin Ismail, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, vol. 4, hal. 69
[41] Abu Ubaid bin Salam, Fadha’ilul-Qur’an, Maktabah Syamilah, hal. 334
[42] Abu Ali al-Farisi, al-Hujjah lil-Qurra’ as-Sab’ah, Maktabah Syamilah, hal. 8
[43] Ibid, hal. 9
[44] Al-Qatthan, al-Mahabhits fi ‘Ulumil-Qur’an, Maktabah Syamilah, hal 126
[45] Al-Qurthubi Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, vol. 1, hal. 50
[46] Al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Maktabah Syamilah, vol. 1, hal  50
[47] As-Suyuthi Jalaluddin, al-Itqan fi ‘Ulumil-Qur’an, Maktabah Syamilah, hal. 249
[48] Ibid, hal. 196
[49] An-Nasa’I Abu Abdirrahman, Fadha’ilul-Qur’an lin-Nasa’i, Maktabah Syamilah, vol. 1, hal. 74
[50] As-Sajastani Ibnu Abi Dawud, al-Mashahif lib-ni Abi Dawud, Maktabah Syamilah, vol. 1, hal. 49
[51] Al-Itqan, vol. 4, hal. 184
[52] Akram ad-Dalimi, Jam’ul-Qur’an, Maktabah syamilah, hal. 177
[53] Shahih Bukhari, vol. 6 hal. 183
[54] Ibnu Katsir, Fadha’ilul-Qur’an lib-Ni Katsir, Maktabah Syamilah, hal. 67
[55] Al-Mashahif lib-Ni Abi Dawud, hal. 96
[56] Fadha’ilul-Qur’an lil-Qasim bin Salam, hal. 284
[57] Al-Mashahif lib-Ni Abi Dawud, hal. 88
[58] ‘Ardhul-Adillah, hal. 87
[59] Ibid, hal. 133
[60] Ibnu ‘Asyir, Tanbihul-Khalan Mauriduzh-Zam’an Mathbu’u Dhaman, Maktabah Syamilah, hal. 452
[61] Fadha’ilul-Qur’an lib-Ni Katsir, hal. 86
[62] Ibid, hal. 68
[63] Al-Qatthan Manna’ bin Khalil, Mabahits fi ‘Ulumil-Qur’an, Maktabah Syamilah, hal. 140
[64] Ibid, hal. 140-141
[65] Al-Itqan, vol. 1, hal. 61
[66] Al-Qatthan, hal. 141
[67] Ibid, hal. 142
[68] Ibid, hal. 142-143
[69] Ibid, hal. 143-144
[70] Ibid, hal. 144
[71] Ibid, hal. 145-146
[72] Ibid


EmoticonEmoticon