Thursday, February 16, 2017

Kajian Kitab al-Hikam, agar Doa tidak Tercela


Pasukan Laut

طَلَبُكَ مِنْهُ اتِّهَامٌ لَهُ وَطَلَبُكَ لِغَيْرِهِ لِقِلَّة حَيَائِكَ


“Permintaanmu kepada-Nya pertanda kecurigaan. Permintaanmu dalam urusan selain-Nya, lantaran secuil rasa malu yang ada.

~Syekh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari dalam Kitab al-Hikam

Dalam proses pendakian spiritualnya, seorang salik tidak layak memikirkan dan mengurusi balasan Allah–subhana-Hu wata’ala–yang akan diberikan kepadanya dengan cara meminta. Mestinya, hal yang harus dia lakukan adalah berusaha mendekatkan diri kepada-Nya serta memenuhi hak-haknya sebagai seorang hamba.

Apabila salik menengadahkan tangan untuk memohon rizki kepada Allah–subhana-Hu wata’al–karena ada perasaan khawatir Allah–subhana-Hu wata’ala–tidak akan memberi rizki, maka jelas hal itu merupakan tuhmah (kecurigaan): beranggapan bahwa Allah–subhana-Hu wata’ala–tidak akan memberi rizki tanpa didahului dengan permohonan. Dan tentunya hal itu sangat tercela.

Namun perlu digaribawahi bahwa demikian itu memang berangkat dari warid (intuisi Ilahi) yang dianugerahkan ke dalam hatinya.

Karenanya, dalam pandangan tasawwuf, doa bukan berarti mengatur kehendak Allah–subhana-Hu wata’ala, tetapi doa merupakan cerminan hati yang dipenuhi rasa iftiqar (butuh kepada anugerah Allah–subhana-Hu wata’ala). Sebab, tidak ada yang dapat mengabulkan segala permohonan kecuali Allah–subhana-Hu wata’al–semata. Di samping itu, doa merupakan anjuran dan perintah-Nya sebagai bentuk ibadah. Dengan seperti ini, doa akan dinilai sebagai mukhkhul-‘ibadah (inti ibadah) seperti yang sabdakan baginda Nabi Muhammad–shallal-Lahu ‘alaihi wasalla.

Namun, apabila doa itu murni dijadikan sebagai sarana untuk meminta-minta kepada Allah–subhana-Hu wata’aladengan dasar kecurigaan serta tanpa niat ibadah, maka hal itu sangat dicela sesuai dengan pesan yang terkandung di dalam mutiara hikmah yang disampaikan oleh Syekh Ibnu ‘Ata’illah di atas.

Sebab dengan begitu, berarti salik masih ragu dan belum mengenal sifat Allahsubhana-Hu wata’aladengan baik. Bila salik yakin bahwa Allahsubhana-Hu wata’alatelah menjamin kebutuhannya tanpa ada permohonan serta dia beriktikad bahwa Allahsubhana-Hu wata’alaMaha Tahu dan Maha Kuasa untuk memberikannya tanpa doa, pasti dia tidak akan curiga kepada Allahsubhana-Hu wata’aladengan menjulurkan tangan.

طَلَبُكَ مِنْهُ اتِّهَامٌ لَهُ

“Permintaanmu kepada-Nya pertanda kecurigaan.”

Pada level selanjutnya, salik harus memacu diri untuk selalu mendekatkan diri kepada Allah–subhana-Hu wata’ala. Namun, untuk mencapai hal itu, salik tidak perlu memohon kepada Allah–subhana-Hu wata’ala–untuk menjadi orang yang dekat dengan-Nya. Karena hal itu menandakan posisi batinnya jauh dari Allah–subhana-Hu wata’ala–dan belum wushul di pelataran hadirat-Nya. Dan hal itu merupakan cela baginya.

Akan tetapi, langkah yang harus ditempuh oleh salik untuk mendekatkan diri kepada-Nya adalah menjalankan dan memenuhi segala kewajibannya sebagai seorang hamba sesuai dengan warid (bisikan Ilahi dalam hati) yang menuntut aktivitas ritualnya.

وَطَلَبُكَ لِغَيْرِهِ لِقِلَّةِ حَيَائِكَ لَهُ

“Permintaanmu dalam urusan selain-Nya, lantaran secuil rasa malu yang ada.”

Tak jarang, seorang salik merengek memohon kepada Allahsubhana-Hu wata’alauntuk diberi pernak-pernik duniawi, kekeramatan, jabatan bergengsi ataupun popularitas di mata sosial: hal-hal yang tidak bersinggungan dengan ibadah kepada-Nya. Permintaan seseorang terhadap pernak-pernik dunia tersebut menunjukkan bahwa dirinya tidak memiliki rasa malu sedikitpun kepada Allahsubhana-Hu wata’ala. Sebab, apabila dalam hatinya terdapat rasa malu kepada Allahsubhana-Hu wata’alapasti dia tidak akan memohon tentang urusan dunia, sebab itu bukan tujuan. Perbandingannya, apabila seorang salik memiliki pendamping hidup (istri) yang sangat dia cintai, dan begitu pula sebaliknya, tentunya satu sama lain tidak perlu meminta apa-apa. Karena, menjalani bahtera rumah tangga dengan istri tercintanya sudah cukup membuat hatinya dipenuhi rasa bahagia.

Pada intinya, amal ibadah yang dilakukan oleh seorang salik harus dijauhkan dari tujuan-tujuan yang bukan inti pokok ibadah. Usaha adalah suatu keniscayaan. Memohon rizki berarti curiga. Meminta dekat pertanda jauh. Meminta hal yang tak bernilai ibadah menandakan kurangnya rasa malu.

Sekali lagi, pesan-pesan mutiara yang disampaikan Syekh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari di atas sesungguhnya menjelaskan bentuk warid yang ada pada hati salik. Baik dan tidaknya doa salik tergantung pada tujuan hati. Karenanya, doa yang bernilai ibadah dan dibalas pahala adalah doa yang dihiasi dengan rasa butuh yang mendalam. Terkabul atau tidak bukan kehendak kita, tapi atas kehendak-Nya. Wal-Lahu a’lam.[]

1 komentar so far


EmoticonEmoticon