Wednesday, February 1, 2017

Menulis: Memberi melalui Teks, Sehari bersama Ahmad Thohari


Oleh: Ahmad Sahide*

Dalam dunia kesusastraan Indonesia, bahkan dunia, nama Ahmad Tohari tentu sudah tidak asing lagi. Karya-karyanya sudah dikonsumsi secara luas oleh peminat sastra Indonesia dan dunia. Salah satu karyanya yang cukup populer adalah Ronggeng Dukuh Paruk yang diadaptasi menjadi film dengan judul Sang Penari. Adalah suatu kebanggaan tersendiri jika Anda bisa bertemu dan berdialog lebih dekat dengannya. Tentulah momen itu akan menjadi momen yang sangat spesial dan berkesan dalam hidup. Seperti itulah yang saya rasakan saat bertemu dan bisa berbincang lebih dekat dengan sastrawan sederhana yang mendunia itu.

Ahmad Tohari, novelis yang banyak mengangkat kehidupan orang-orang desa itu, hadir di Yogyakarta kemarin, Rabu 29 Januari 2014, dalam acara Sekolah Menulis Progresif yang diselenggarakan oleh Social Movement Institute (SMI). Dalam acara ini, sastrawan besar yang selalu menekankan dirinya sebagai orang desa ini hadir berbagi pengalaman dalam menggeluti dunia kepenulisan sekaligus memotivasi anak-anak muda untuk menulis. Hal yang mutlak dilakukan bagi dia untuk menjadi seorang penulis adalah membaca. Dalam perbincangan sederhana dan penuh keakraban kemarin, dia menceritakan bahwa ia sudah memburu buku-buku untuk dibaca ketika masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Bahkan karya-karya sastra yang klasik dia buru untuk dia baca.

Itulah arti pentingnya bagi Ahmad Tohari untuk menjadi seorang penulis, sambil mengeluhkan generasi zaman sekarang yang minat bacanya sangat rendah. Membaca itu penting bagi seorang penulis adalah pemberi. “Penulis adalah pemberi. Memberi melalui teks”, katanya dalam forum Dialog Literasi bersama dia dengan teman-teman peserta Sekolah Menulis Progresif SMI kemarin. Forum yang diikuti oleh teman-teman mahasiswa dari beberapa kota: Makassar, Malang, Solo, Purwokerto, dan tentu saja Yogyakarta. Hal lain yang dia tekankan bagi penulis adalah bahwa seorang penulis itu harus memiliki kemampuan di atas rata-rata. Kemampuan di atas rata-rata itulah yang dia bagikan melalui kata-kata (teks). Oleh karena itu, jika seseorang mau menuliskan topik tertentu, ia haruslah berupaya untuk mempunyai pengetahuan lebih daripada pembaca. Itulah tuntutan untuk menjadi seorang penulis. Tentu saja semua itu hanya dengan banyak membaca.

Ahmad Tohari, yang juga punya julukan sastrawan melawan pasar itu, mencoba menyadarkan para peserta akan pentingnya membaca bagi penulis dengan banyak mengutip buku-buku yang asing di telinga sebagian besar peserta. Kalimat yang cukup membakar semangat menulis dari dia adalah ketika mengatakan, “Menulislah, maka kalian ada!” Dia juga menyadarkan bahwa, “Kepengarangan itu sebuah proses. Kematangan itu sambil berjalan”. Tips-tips yang dia bagikan kepada kita semua untuk menulis adalah dengan membatasi waktunya di dunia maya. Menurut pengakuannya, kalau dia banyak menghabiskan waktu di dunia maya, maka ia bertugas hanya sebagai pengonsumsi gagasan orang lain, bukan sebagai memproduksi gagasan.

Masyarakat Perlu Sastrawan
Barangkali akan terkesan sebagai pendapat yang sangat subjektif ketika mengatakan bahwa masyarakat kita perlu sastrawan. Asumsi subjektivitas itu tentulah tidak salah karena memang Ahmad Tohari adalah seorang sastrawan. Tetapi ia mampu merasionalkan mengapa masyarakat kita perlu sastrawan.

Anggota Poet, Essays, Novelist (PEN), organisasi perkumpulan sastrawan sedunia itu mengatakan bahwa melalui sastra kita menyebarkan nilai-nilai. Artinya bahwa semakin tinggi penghargaan kita terhadap sastra maka semakin tinggilah nilai-nilai itu tersebar luas. Ia membandingkan bahwa di Amerika Serikat, boleh jadi berangkat dari pengalamannya mengunjungi negeri Paman Sam itu, anak-anak Sekolah Menengah Atas (SMA) diprogram untuk membaca minimal tiga puluh buah novel dan dijepang lima belas buah novel. Lalu Indonesia bagaimana? Ia hanya memberikan gerakan tubuh di hadapan para peserta yang dapat ditangkap bahwa Indonesia sangat jauh dari harapan.

Lebih lanjut, sastrawan yang sudah sepuh itu mengajak peserta untuk melihat keterkaitan antara sastra dan kepemimpinan. Menurutnya, secara umum pemimpin kita di Indonesia mengalami krisis nilai. Semua itu terlihat ketika mereka tega melakukan korupsi, menghabisi lawan-lawan politiknya, kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat, hidup mewah di tengah rakyat yang kelaparan, dan lain sebagainya. Itu karena tidak tersebarnya nilai-nilai kepada mereka dan hal itu disebabkan mereka tidak menghargai sastra. Soekarno, tuturnya, adalah presiden yang bacaan sastranya kuat dan itulah yang membuat Soekarno berbeda. Mohammad Hatta juga demikian.

Hari ini, kata dia, pemimpin kita adalah pemimpin yang tidak suka membaca sastra. Soeharto justru membungkam para sastrawan. Hanya Abdurrahman Wahid (Gus Dur) katanya yang bacaan sastranya kuat sehingga kebijakannya berbeda. Singkatnya, Ahmad Tohari ingin mengatakan kepada kita semua bahwa orang yang bacaan sastranya kuat, tempat bersemainya nilai-nilai, akan berbeda di dalam melihat dan memperlakukan sesamanya.[]


*Penulis novel Cinta Anak Karaeng, kandidat Doktoral Universitas Gadjah Mada Yogyakarta


EmoticonEmoticon