Monday, February 13, 2017

Metode Cepat Melacak Kapasitas Hadis: (Mengenal Takhrijul-Hadits)


Kontributor: Fauzan Imron
Pasukan Laut
“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar perkataanku lantas ia menghapalnya, kemudian menyampaikan pada orang yang tidak mendengarnya”. (HR. At-Turmudzi, Abu Daud, dan Ibnu Hibban).
Dr. Hatim bin Arif bin Nasir al-‘Auni, seorang dosen Universitas Ummul Qura, Mekah, melakukan penelitian terhadap 112 pelajar tentang Ilmu Hadis, apakah mereka kesulitan dalam memahami Ilmu Hadis? Ternyata hasilnya, sekitar 71,5% menjawab iya dan sekitar 28,5% menjawab tidak. Tentu hasil ini cukup mengejutkan, mengingat Hadis merupakan sumber rujukan kedua setelah al-Qur’an. Maka, sebab itulah para cendekiawan muslim mencoba mengampanyekan gerakan cinta Hadis untuk para pelajar, salah satunya dengan sejak dini metode takhrijul-hadits.

Pengertian Takhrijul-Hadits
Kata takhrij adalah kata asal dari kata akhraja yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari tempatnya. Secara terminologi, takhrijul-hadits adalah melacak rawi dan status Hadis pada kitab-kitab Hadis yang ada.

Adapun takhrij menurut istilah ahli Hadis memiliki tiga macam pengertian:

Pertama, usaha mencari sanad Hadis yang terdapat dalam kitab Hadis karya orang lain, yang tidak sama dengan sanad yang terdapat dalam kitab tersebut. Usaha semacam ini dinamakan juga istikhraj. Misalnya kitab al-Mustakhraj ‘ala Shahih al-Muslim karya Imam al-Hafizh Abu Nu’aim al-Asbahani. Dalam kitab tersebut, al-Asbahani men-takhrij Hadis-hadis yang ada dalam kitab Shahih Muslim menyebutkan beberapa sanad yang tidak sama dengan sanad yang disebutkan oleh Imam Muslim sendiri. Kedua, meriwayatkan Hadis disertai dengan menyebutkan mata rantai sanadnya. Ketiga, mendeteksi status dan sanad suatu Hadis yang tidak diterangkan oleh perawi atau pengarang suatu kitab. Lalu memberikan komentar tentang sanad dan status Hadis tersebut.

Takhrijul-hadits dengan model semacam ini sering dilakukan oleh ulama kontemporer (setelah abad ke-3 sampai sekarang). Misalnya Jamaluddin al-Hanafi yang mengkaji Hadis-hadis yang ada dalam kitab Tafsir al-Kasysyaf. Dan Abdurrahim al-‘Iraqi yang men-takhrij  status Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihya’ ‘Ulumiddin karya al-Ghazali . Hasil kajian al-‘Iraqi kemudian dibukukukan oleh al-Mughni An Hamlil Asfal dengan judul Takhriju Ahaditsi Ihya’.

Seberapa Penting Takhrij
Faktanya, tidak semua orang menyadari akan pentingnya men-takhrij  sebuah Hadis. Banyak orang yang meriwayatkan matan Hadis semata tanpa menyebut mata rantai sanad dan menjelaskan status dan kapasitas Hadis tersebut, terutama bagi mujtahid yang akan mencetuskan sebuah hukum syara’.

Sebab dengan mengetahui rantai transmisi Hadis, maka akan diketahui kapasitas keabsahannya untuk dijadikan argumen syara’. Di samping itu, orang yang mengetahui kapasitas Hadis, tidak akan gegabah meriwayatkan Hadis dengan mengatasnamakan Nabi—shallal-Lahu ‘alaihi wasallam. Kalau ternyata Hadis itu “Barang siapa berbohong mengatasnamakan diriku, maka persiapanlah tempat di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).

Secara garis besar, ada beberapa manfaat takhrijul-hadits antara lain sebagai berikut:

Pertama, menjaga keutuhan dan kelestarian Hadis-hadis Rasulullah—shallal-Lahu ‘alaihi wasallam, sehingga tetap eksis sampai hari kiamat. Kedua, dapat memberikan informasi terhadap kapasitas Hadis (shahih, hasan, dan dha’if). Ketiga, mengetahui Hadis yang bisa dijadikan hujjah atau tidak. Keempat, memberi kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan isi Hadis, setelah tahu bahwa Hadis tersebut berkapasitas maqbul (dapat diterima). Dan tidak diamalkan apabila diketahui bahwa derajat Hadis tersebut mardud (tertolak). Kelima, menguatkan keyakinan bahwa suatu Hadis adalah benar-benar berasal dari Rasulullah—shallal-Lahu ‘alaihi wasallam—apabila derajat Hadis tersebut mapan (shahih) dalam segi sanad maupun matan.

Langkah Men-takhrij Hadis bagi Pemula
Ketika pemula mendengar Hadis yang tidak disertai dengan sanadnya, maka langkah awal mengetahui sanad Hadis tersebut dengan takhrijul-hadits ‘an thariqil matni (melacak Hadis melalui redaksinya). Cara ini bisa dilakukan dengan melalui dua cara:

Pertama, melihat kalimat awal redaksi Hadis. “Innamal-‘amalu bin-niyyat”. Kemudian cari kata ‘innama’ dalam kutubut-takhrij (kamus Hadis), seperti kamus Hadis al-Jami’ush-Shaghir karya as-Suyuthi dan Mausu’atul-Athraf an-Nabawiyyah, dan lain-lain. Selanjutnya, kamus Hadis akan memberi tahu kitab-kitab yang memuat Hadis tersebut beserta sanadnya.

Kedua, melihat penggalan kata dalam matan Hadis. Metode ini lebih mudah daripada metode pertama. Sebab kita tidak harus melihat kata yang pertama dalam Hadis untuk melacaknya. Misalnya Hadis “Innamal-a’malu bin-niyyat”, bisa dicari kata ‘innama’ bisa juga kata ‘al-a’mal’ ataupun kata ‘an-niyyat’. Dan kitab yang dibutuhkan adalah kitab Mu’jamul-Mufahris karya Dr. Arnold Jhon Wnsick (w. 1939 M), seorang orientalis berdarah Belanda yang menjadi rektor di Universitas Leiden. Kitab tersebut merupakan kamus Hadis yang disusun berdasarkan penggalan kata.

Ketiga, takhrijul-hadits ‘an thariqis-sanad (melacak Hadis melalui mata rantai sanadnya). Cara ini dilakukan dengan melacak nama rawi Hadis pada kitab-kitab khusus yang menjabarkan tentang semua profil dan seluk beluk para perawi Hadis, seperti Tuhfatul Asyraf karya al-Hafizh al-Mizzi.

Keempat, takhrijul-hadits bil-maudhu’ (melacak Hadis melalui topiknya). Misalnya Hadis “Shallu kama ra’aitumuni ushalli”, maka Hadis ini ditelusuri sesuai dengan topiknya, yaitu shalat. Kemudian carilah sesuai dengan abjad. Dan kitab yang dibutuhkan ialah kitab Miftahi Kunuzi as-Sunnah, yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi (hasil terjemahan dari kamus Hadis karangan orientalis yang berjudul A Handbook of Early Muhammadan).

Penutup
Pada saat ini, takhrij merupakan metode yang tepat dan mudah untuk melacak asli dan tidaknya suatu Hadis. Metode takhrij mudah untuk dipahami sehingga mudah diterapkan oleh siapa saja. Selamat mencoba. Wal-Lahu a’lam.[]


EmoticonEmoticon