Cerpen Novi Tri Handayani*
Jika suatu saat nanti aku berkesempatan memilih mimpiku sendiri,
aku ingin menjadi bagian dari Nunusaku. Menjadi salah satu dari Alifuru. Jika
bisa menjadi salah seorang dari tiga bersaudara keturunan Sem dan Kham.
Meninggalkan Mesopotamia dan menjadi orang pertama yang menginjakkan kaki di
dataran yang serupa burung Guheba. Lalu tinggal di sana dan menjadi bagiannya.
Dan aku bisa menjadi Alifuru yang biasa-biasa saja. Yang bertemu dengan bangsa
Alifuru lainnya. Kemudian jatuh cinta, dan menjadi buta. Katanyam cerita
tentang Nunusaku tidak diketahui kebenaran adanya. Seperti dongeng yang beranak
pinak menjadi pertanyaan-pertanyaan akan nyatanya. Tapi apa peduliku. Kau sudah
sejak dulu jatuh cinta pada dongeng. Dan aku, sudah sejak dulu jatuh cinta
padamu.
***
"Malam kemarin aku bermimpi seseorang melesatkan anak
panahnya ke jantungku. Tentu saja aku berdarah, tapi tidak di
dadaku. Melainkan di wajahku. Aku mencari cermin, tetapi ternyata aku tidak
berada di kamarku. Aku berada di ranting pohon, terkapar. Ranting itu hanya
seukuran ibu jari, namun bisa menopang tubuhku. Belum sempat kuterima beberapa
keanehan ini, tubuhku yang sudah lemas merosot ke bawah. Aku dapat memastikan
bahwa saat itu aku melihat seorang manusia yang berlari menjauh. Aku tak hapal
wajahnya, tetapi aku tahu dia perempuan. Rambutnya panjang diikat ke belakang.
Dalam hal ini, aku yakin ia pelaku utamanya karena di tangannya ia menggenggam
busur panah. Lalu aku tersadar, tubuhku tenggelam. Tak lagi di ranting pohon.
Aku berada di lautan.
Aku yakin benar-benar tenggelam. Aku
menerka di laut mana aku berada. Aku harap di Karibia, atau Othosk, tapi di
Antartika, aku harap akan ada iguana dan melihatnya dari jarak pandang paling
dekat. Menatap bola matanya yang bulat, mengenali bayangan wajahku yang
terpantul di retina ketiganya yang likat. Tidak peduli nafasku pendek karena
dalam keadaan tenggelam, aku tetap bisa bernafas. Dan aku tetap tenggelam di
lautan, yang aku harap Karibia, atau Othosk.
Jika memang aku di Othosk, aku akan
berenang sampai ke tepian. Di mana pohon-pohon sakura tumbuh dan deru ombak
terlontar gaduh. Berenang sampai ke perbatasan Laut Cina, menemukan pulau-pulau
kecil semacam film Cast Away, lalu menemukan diriku telah terjebak
bertahun-tahun lamanya. Menjadi tua dan sendirian. Membuat kemungkinan bahwa
mungkin saja aku tidak seberuntung Chuck yang akhirnya menemukan cara untuk
pulang. Terlebih aku pemalas dan orang yang mudah pasrah. Tapi, setelah semua
kusadari, kesadaran dalam bermimpi, ternyata tidak ada lagi apa-apa. Tidak
Iguana, tidak Sakura. Tak Karibia, apalagi Othosk. Aku tetap dalam keadaan
jantung yang tertembus panah dengan nafas masih tetap teratur. Berada di
kedalaman laut yang tak pernah dapat kutebak di laut mana aku sebenarnya. Tidak
ada ikan, tidak ada karang. Tak terumbu, tak juga tai-tai manusia yang setiap
harinya dibuang di lautan.
Aku berusaha mengeja ulang mimpiku;
Aku. Dipanah. Perempuan. Ranting. Darah. Tenggelam. Lautan. Kosong. Dan aku
tetap bernafas.
Aku terbangun dengan tiba-tiba. Air
mata menetes dari kedua ujung mataku tanpa kurasa. Aku menangis. Sedikit.
Kembali pada keadaan sebenarnya; kenyataan dan kesadaran yang selalu muncul
tiba-tiba, selalu membuat dadaku sakit. Aku merasa menjadi laki-laki yang
melankolis, Resi yang begitu melankolis. Dan aku tak tahu apa sebabnya.
Keasingan yang tak menemukan cahaya. Seperti dengan mimpi yang baru saja
kulalui, rangkaian absurditas tiada batas yang ketajamannya sama rata dengan
kenyataan.
Teori ini dapat juga diaplikasikan
pada perempuan itu. Bukan, bukan perempuan yang ada di mimpiku. Tetapi Lindu.
Yang menjadi salah satu ikon perempuan hippie nomor satuku, cantik dan
absurditasnya bisa dibilang mimpi, bisa dibilang nyata. Karena dia memang
perempuan gila yang cerdas, dan absurd. Dan semoga saja bukan sebuah mimpi jika
aku sedang berbicara dengannya.
***
Semenjak sering bermimpi aneh, aku
takut untuk tidur. Aku takut terjebak dalam mimpiku dan tidak bisa bangun lagi
atau terbangun dengan tiba-tiba, dua hal yang sama-sama menyakitkan. Busa jadi
aku akan tidur selamanya. Aku sudah menjauhi kopi dan meninggalkan buku
dongeng. Menjalani terapi atau bermediasi ala yoga. Hanya agar aku bisa tidur
dengan nyenyak. Banyak-banyak berdoa setiap malam agar Tuhan di sisiku dan
makhluk-makhluk jahat pergi. Aku datang bercuriga bahwa ada makhluk jahat yang
mengintai tidurku dan membuat mimpiku jadi jelmaan yang beragam, menjadi
kesadaran yang bermacam-macam. Katanya, mimpi itu hanya kembang tidur, tetapi
hampir tiap malam aku dijerat aromanya.
Suatu malam aku pernah bermimpi berada
di sebuah hutan yang pohon-pohonnya sangat lebat. Aku seperti mengenal hutan
itu, tapi aku lupa di mana. Bisa jadi deja vu, bisa jadi sekadar igauan tak
bermutu. Kemungkinan aku pernah memasuki hutan itu dalam mimpiku yang lain,
atau juga di dunia nyata. Tetapi yang paling kuingat, aku memegang sebuah panah
dan busurnya. Aku tersadar jariku sedikit terluka, dan kulihat seorang
laki-laki tergantung di atas ranting pohon seukuran ibu jari. Dadanya tertembus
panahku. Ia berdarah, tetapi bukan di dadanya. Melainkan di wajahnya. Aku
melihat kejadian itu begitu jelas, namun aku tidak sadar alasan aku memanahnya
dan sejak kapan aku bisa memanah. Sayangnya, aku tidak dapat menginat wajah
laki-laki itu karena berlumuran darah.
Aku berlari, namun tak tahu alasannya,
kenapa aku mesti berlari. Aku hanay berlari dan kutemukan diriku tidak lagi
berada di hutan. Di sekelilingku terdapat burung-burung yang beterbangan,
langit yang lapang, dan tubuhku mematung, sendirian, dengan berat dan sulit
untuk bergerak. Aku kembali mengamati sekitarku. Hening dan sepi.
Dengan susah payah aku meraba tubuhku:
basah dan luas. Dan kusadari bahwa aku bukan lagi manusia. Aku laut. Di
mimpiku, aku menjadi laut yang maha luas. Entah apa namanya, aku harap aku
menjadi laut yang indah dan diidam-idamkan banyak orang untuk bisa didatangi.
Entah di samudera mana. Semoga tidak ada yang membuang sekumpulan tai ke
tubuhku. Tetapi tetap saja, menjadi laut sungguh bukan keinginanku. Aku tidak
pernah bercita-cita memiliki tubuh yang sangat luas, ditinggali penyu dan
ikan-ikan, ditumbuhi terumbu dan tumbuh-tumbuhan karang. Kuamati sekali lagi
tubuhku. Tidak ada tangan, jari, kuku, dana, kepada ataupun anggota tubuh
lainnya. Tak ada mata namun aku bisa melihat. Tak ada telinga namun aku bisa
mendengar. Yang kulihat, yang kudengar, yang kucium, dan kurasakan; begitu
asing, begitu asin. Aku merasa sangat lain. Bukan diriku. Tak pernah diriku.
Beberaoa saat kemudian, seorang
laki-laki telah tenggelam di tubuhku. Kulihat wajahnya, kuamati tubuhnya; mirip
sekali dengan orang yang kupanah dadanya. Wajahnya yang tadi berlumuran darah
memang tak dapat kukenali tapi aku tahu lelaki yang tenggelam ini adalah lelaki
itu, kaena kutemukan panahku masih tertancap di dadanya. Aku berusaha sembunyi,
takut ia menyadari keberadaanku, tetapi tubuhku tak dapat bergerak. Aku mencoba
sekuat tenaga, dan tetap tak bisa bergerak. Tubuhku hanya kubangan air maha
luas dengan sedikit ombak bergulungan lalu kembali tenang.
Mimpi yang sulit diterima. Dan
laki-laki itu jelas tak akan sadar bahwa akulah perempuan yang telah memanah
dadanya. Aku terdiam lama, begitupun ia. Setelah itu pun, tak ada apa-apa.
Hanya aku sebagai lautan dan seorang laki-laki dengan panah di dadanya yang
telah tenggelam dalam tubuhku, terus tenggelam, semakin dalam. Entah apa yang
terjadi selanjutnya aku tak tahu. Aku terbangun dengan tiba-tiba dengan dada
yang sesak dan aku tak mengerti apa-apa. Kulihat jam dinding, pukul dua pagi.
Pagi yang asing tapi begitu dekat.
Seperti bertemu dengan orang-orang tak dikenal setiap harinya. Semacam itu
rasanya. Nafasku terengah-engah, dan air mata telah tumpah mengalir ke pipiku.
Air mata yang juga asing, entah untuk perasaan macam apa. Tapi begitu dekat.
Lalu aku ingat seorang lelaki dengan mimpi-mimpinya. Dan semacam rindu, ada
pearasaan yang pelan-pelan melewati ingatanku. Katanya, “Jika suatu hari ia
bisa memilih mimpinya, ia ingin menjadi orang gila. Menjadi orang yang paling
gila. Karena dalam keyakinannya, ia percaya bahwa orang-orang gila ialah orang-orang
yang sebenarnya paling waras di dunia.
Begitu kata Resi.
***
Akan kuceritakan kepadamu mengenai
seorang gadis arah jam satu. Ia adalah hippies nomor satu favoritku dan
kuberikan nama alias utunya ‘Madison’. Ia bukan yang paling cantik, tapi
wajahnya semanis perempuan-perempuan India yang memiliki kulit eksotis. Namanya
Indurasmi yang belakangan ini baru kutahu dari sebuah buku yang kupinjam dari
seorang temanku, bahwa Indurasmi berarti sinar rembulan. Merupakan nama
Sansekerta, sesuai dengan paras wajah dan warna kulitnya. Kau tahu, jika ia
benar-benar rembulan, suatu hari aku akan memeluknya meskipun setelahnya bisa
jadi aku akan meleleh dan menjadi serupa cairan lembek berwarna menjijikkan.
Lindu, panggilan akrabnya, benar-benar
gadis arah jam satu yang menggairahkan. Rambutnya lurus digerai, suaranya agak
sengau dan sedikit datar. Konon katanya gadis-gadis semacam ini cocok
bersanding dengan pria petualang sepertiku. Dan aku mengamininya. Kami saling
mengenal dalam jarak waktu yang singkat namun karena adanya intensitas waktu
bertemu yang rutin dan beberapa cerita yang kami anggap menarik, tanpa disadari
aku dan Lindu dengan mudah mendapatkan rasa nyaman untuk bercerita satu sama
lain. Kami menjadi lebih dekat ketika kami sering bercerita banyak mengenai
mimpi. Setiap dua kali dalam satu minggu aku bertemu dengannya di sebuah
perkumpulan yoga. Aku mulai mengikuti yoga sekitar empat bulan yang lalu,
bertepatan dengan pertemuan pertamaku dengan Lindu. Kedekatan kami dimulai
semenjak ia bercerita bahwa ia sering mengalami mimpi-mimpi yang aneh dan dan
sedikit ajaib. Aku menyebutnya gadis arah jam satu karena ia selalu berada di
posisi tepat di arah jam satu di depanku. Jika berbicara, Lindu selalu menatap
tajam ke arah lawan bicaranya. Katanya, itu merupakan salah satu caranya
menghargai seseorang yang berbicara dengannya.
Seperti sekarang, gadis arah jam satuku berada tepat di depanku.
Bercerita mengenai hal-hal yang menggairahkan. Kulihat jelas bibirnya, tipis dan
mungil. Bergerak perlahan, mengeluarkan suara-suara dari mulutnya, membuatku
tidak ingin melewatkan satu kata pun.
Aku yakin sekali bahwa kami berjodoh.
Entah kenapa, aku selalu merasa sering bertemu dengannya entah di mana.
***
Selesainya aku menceritakan mimpiku
terakhir kali, aku menghembuskan nafasku dalam-dalam. Aku butuh soda
sepertinya. Apapun itu asal bisa mempuatku tenang, karena degup jantungku tak
juga reda. Ada satu hal yang ingin
kuceritakan padamu, mengenai seorang pria dalam kitab Mahabrata. Jika
aku bisa aku ingin mengubah namaku menjadi Satya, atau Durga, agar sepadan
dengannya.
Aku adalah pendosa paling beruntung di
dunia karena bertemu dengannya. Seorang pria bermata teduh dan berambut sebahui
paling manis sedunia. Katanya, jika perempuan sedang jatuh cinta, ia akan
berpegang erat pada 9 perasaan yang dimiliki dan menganggap satu logika yang
tersisa tiada. Seperti kata Resi, “Laki-laki memiliki 9 logika dan 1 perasaan,
sedangkan perempuan memiliki 9 perasaan dan 1 logika. Maka jika seorang
perempuan berhasil mengambil perasaanku, maka habislah 9 logika yang kupunya
untuk bernalar.”
Dan itulah yang kuharapkan. Hati dari
seorang Resi yang duduk di depanku, dalam sebuah lingkaran orang-orang yang
memiliki cerita. Yang membuat akal sehatku mati dan tinggal 9 perasaan saa yang
tersisa. Dan aku ingin ceritanya.
Itu saja cukup
***
Setelah itu kuharap akan ada lagi.
Entah apa, tapi pasti akan ada lagi. Entah harus berapa mimpi dan berapa panah
yang akan melayang, aku menunggu. Rambut lurus dan mata yang berwarna coklat.
Salah satu gadis keturunan Dewa Chandra yang harus dilestarikan. Mereka seperti
panah yang tajam namun hangat. Seperti suara-suara yang menenangkan. Seperti
bahagia tanpa banyak rasa. Aku selalu berharap berada di dalam jengkal yang
lebih dekat dengannya. Melihat garis wajahnya dengan lebih mudah. Dan suaranya akan terdengar lebih
kering daripada kemarau. Matanya akan terlihat jauh lebih bening daripada embun.
Di sekumpulan yang aku tahu ada banyak
orang-orang asing yang dengan yakinnya berbagi cerita tanpa pikir panjang, aku
menemukannya dalam sebuah lingkaran. Yang kemungkinan besar aku akan terjebak
pada cerita bodoh di mana banyak orang mengatakan bahwa itu hanyalah sekumpulan
cerita saat kita tidur atau mungkin ada jawaban lain.
Meskipun aku bukan penikmat atau salah
satu orang yang mempercayai hal-hal yang bersifat spiritual, aku tahu ada
jawaban dalam lingkaran ini.
Tapi kemungkinan tak akan ada lagi. Entah
panah, entah mimpi. Karena aku telah menangkap si pemanah yang pandai dan tak
pernah meleset, melalui cerita-ceritanya. Hingga detik ini dan semuanya menjadi
sangat jelas. Aku tidak akan pernah menyepelekan teori tentang intuisi.
Sekali lagi aku yakin tak akan ada
lagi, entah panah entah mimpi. Entah ini bisa dipercaya atau tidak.
Bahwa gadis keturunan Dewa Chandra itu
memang untukku.
***
Tiba-tiba aku terbangun. Kurasakan
kepalaku agak pusing dengan degup jantung yang begitu cepat. Begitu dingin di
sini, dan tak kutahu aku berada di mana. Hanya dataran yang ditumbuhi ilalang
dan dilewati burung-burung camar. Kucoba menerka dataran macam apa ini, tapi
tak kutemukan jawaban apapun. Yang benar-benar kuingat hanyalah bahwa aku baru
saja bermimpi sangat panjang dengan banyak cerita. Mengenai mimpi di dalam
mimpiku terakhir kali, dan mimpi seorang laki-laki bernama Resi. Bahwa tidak
ada panah, ataupun darah. Tak ada cerita tentang jatuh cinta, apalagi Resi,
seseorang yang tak pernah kukenal sebelumnya. Tapi meskipun merasa asing dengan
orang itu, aku mendapati perasaan yang lain, seperti keinginan untuk dekat
dengannya. Semacam jatuh cinta.
Namun aku lebih tak mengenal siapa aku
sebenarnya. Perasaan ini juga membuatku berkeyakinan bahwa aku sedang bermimpi.
Entah mimpi dalam mimpiku yang mana lagi, atau mimpi di dalam mimpi orang lain.
Aku terlalu banyak bermimpi aneh belakangan ini. Aku tak tahu aku sedang dalam
keadaan sadar atau tidak. Jika iya, aku tak tahu apa-apa mengenai diriku dan di
mana aku berada. Jika tidak, aku tak tahu pula kapan akan terbangun. Hanya
kesunyian yang semakin senyap, tak lagi ada banyak perasaan.
Dan sekarang aku benar-benar berharap
berada di Nunusaku, tergeletak di datarannya yang serupa burung Guheba. Aku
ingin jadi Alifuru saja. Cukup Alifuru dengan hidup yang biasa. Entah aku akan
jatuh cinta atau tidak, atau mungkin mengalami mimpi lagi setelahnya, semoga
aku bertemu lagi dengan laki-laki itu.
Begitu saja sudah cukup bagiku
***
*Novi Tri Handayani, lahir
di Jakarta, saat ini elah menyelesaikan studi di Undip, jurusan Sastra
Indonesia. Beberapa kali menjuarai lomba kepenulisan.
EmoticonEmoticon