Oleh: Muhammad Arif
Dalam memahami peristiwa Isra’ Mi’raj, kaum muslimin terbagi menjadi 2
kelompok ekstrim. Kelompok pertama, yaitu mereka yang ekstrim
mengasumsikan dengan logika; kedua, ekstrim membawa-bawa riwayat palsu
dan kisah bualan.
Ketahuilah, bahwasannya segala sesuatu tidak selalu bisa diukur dengan logika,
lebih-lebih jika hal itu berkaitan dengan keimanan. Menurut ulama tauhid, akal
difungsikan sebagai sarana yang dapat membuktikan kebenaran syara’, bukan
sebagai dasar dalam menetapkan akidah-akidah dalam agama. Di sisi lain, orang-orang kita –para da’i dan ustadz- hanya suka bercerita. Bahkan
terkadang kita terjebak dengan membawa kisah-kisah palsu yang Maasya Allah
sebenarnya tidak perlu digunakan.
Kesalahan selanjutnya yaitu, kita hanya
fokus dalam rincian cerita tanpa
menghidangkan hikmah yang dapat dipetik,
entah itu hikmah dari segi keilmuan akidah,
fikih, ataupun akhlaq. Dan imbas dari itu
semua akan menjadi “senjata makan tuan”
yang digencarkan oleh kelompokkelompok
luar. Salah satu ciri khas akidah
ahlussunnah wal jama’ah adalah mengambil
sikap tengah dan moderat. Kita tidak kaku
dalam memahami makna literal suatu
nash, juga tidak membiarkan akal
melanglang buana tanpa kendali. Kita –
Ahlussunnah Wal Jama’ah- diantara pemikiran kaum Hasyawiyah yang tekstualis
dan Mu’tazilah yang logis. Kita diantara Jabariyah dan Qodiriyah. Juga diantara
Khawarij dan Syiah.
Kerancauan Berfikir Para Penyembah Akal
Jika anda membaca rujukan-rujukan mereka, niscaya akan anda dapati
kebodohan dan kedangkalan logika mereka. Mungkin bisa dimaklumi jika
pemikiran itu berasal dari kaum orientalis yang memang mereka tidak
mengenal Islam. Namun, akan mengherankan jika yang berpendapat seperti itu adalah tokoh-tokoh kita sendiri. Diantara pemikiran-pemikiran mereka yang
menyimpang yaitu Isra’ Mi’raj dilakukan oleh ruh Nabi SAW, bukan dengan
jasad; yang kedua, Allah bertempat di langit. Pendapat pertama, yang
menyatakan bahwa yang ber-Isra’ Mi’raj adalah ruh Nabi SAW, adalah
pendapat yang batil. Mereka berargumen bahwasannya jasad akan hancur jika
melaju dengan kecepatan yang super tinggi (dalam hal ini Isra’ Mi’raj),
sedangkan sandaran dari argumen itu adalah kajian ilmiah. Lihatlah betapa
mereka menuhankan ilmu pengetahuan dan mengesampingkan agama. Apakah
mereka tidak pernah membaca firman Allah SWT :
سُبْحان الذِىٓ أ َسْرَىٰ بعَبْدِهِۦ لیْلاً مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إ ِلَى الْمَسْجِدِ الأْ َقْصَا
Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha. (QS. Al-Isrâ [17] : 01)
Dalam ayat di atas, Allah SWT menggunakan kata عبد) abdun) yang artinya
“hamba”. Sebenarnya apakah makna ‘abdun ruh saja, tanpa jasad?. Seandainya
pun benar, maka makna tersebut akan rancau jika dikaitkan dengan firman
Allah yang lain :
فَوَ جَدَا عَبْدًا مِّنْ عِبَادِنَآ ءَاتَیْنٰه رحْمَةً مِّنْ عِندِنَا وَ عَلمْنٰه مِن لدُنَّا عِلْمًا
Lalu keduanya (Nabi Musa dan pembantunya) bertemu dengan seorang hamba
diantara hamba-hamba Kami. (QS. Al-Kahfi [18] : 65)
Yang dimaksud “hamba” dalam
ayat tersebut adalah Nabi Khidir.
Jika kita kaitkan dengan pendapat
ahli logika, mungkinkah Nabi Musa
dan pembantunya bertemu
dengan sebuah ruh? bukankah
dalam ayat-ayat selanjutnya telah
dijelaskan kisah perjalanan Nabi
Musa dan hamba Allah tersebut?
Maka menjadi batallah pendapat
yang menyatakan bahwa Nabi SAW ber-Isra’ Mi’raj dengan ruh beliau saja.
Pendapat kedua, mereka menyatakan bahwa Allah ada di atas langit (baca:
‘arsy). Subhaanallaah, Maha Suci Allah dari apa yang mereka sifatkan. Setelah
membaca kisah Isra’ Mi’raj, bahwasannya Nabi SAW bertemu Allah secara
langsung, mereka kemudian menyimpulkan bahwasannya Allah ada di atas
‘arsy. Pendapat ini lalu mereka kukuhkan dengan Firman Allah SWT :
الرَحْمٰنُ عَلى الْعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Tuhan yang Maha Pemurah. yang beristiwa di atas 'Arsy. (QS. Taha [20] :
5)
Padahal jika kita merujuk pada pendapat para salafunash sholih, tidak satupun
diantara mereka yang menafsirkan kata “istawa” dengan bersemayam. Dan
untuk memahami ayat-ayat mutasyabihat semacam ini, para ulama ahlus
sunnah wal jama’ah menggunakan 2 metode, yakni : tafwidh dan ta’wil. Jika pertemuan Rasulullah dengan Allah menjadi dalil bahwasannya
Allah di atas langit, maka bagaimana ketika Allah berbincang-bincang dengan
Nabi Musa AS di bukit Thursina? apakah Allah ada di bukit Thursina?
Pemahaman tersebut akan semakin rancau ketika kita membaca ayat berikut :
َ قَالَ إ ِنِّى ذَاھِبٌ إ ِلىٰ رَ بِّى سَیَھْدِینِ
Ibrahim berkata: "Sesungguhnya aku pergi menghadap kepada Tuhanku, dan Dia
akan memberi petunjuk kepadaku. (QS. Ash-Shaffât [37] : 99)
وَ لِله الْمَشْرِ قُ وَالْمَغْرِ بُ ۚ فَأ َیْنَمَا تُوَلوا۟ فَثَمَّ وجْه الله
Milik Allah timur dan barat, Kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.
(QS. Al-Baqarah [2] : 115)
Ayat pertama dari 2 ayat di atas adalah ucapan Nabi Ibrahim ketika akan pergi
ke Palestina. Jika demikian, Apakah Allah ada di Palestina? Tentu Tidak.
Sedangkan ayat kedua jika kita fahami secara tekstual akan mengantarkan kita
pada kesimpulan bahwa Allah ada dimana-mana. Lalu dimanakah Allah yang
sebenarnya? Jawaban yang tepat adalah Allah tidak butuh tempat, Allah ada
sebelum tempat ada. Inilah yang membedakan akidah ِAhlussunnah wal Jama’ah
dengan yang lainnya. Wa Allǎhu A’lam.[]
Monday, January 30, 2017
Isra' Mi'raj dalam Perspektif Akidah
Diterbitkan 9:59 PM
Tags
Artikel Terkait
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
EmoticonEmoticon