Pasukan Laut - Kita semua tahu bahwa agama Islam lahir
lahir di Semenanjung Arab. Sebuah semenanjung barat daya Asia yang merupakan
semenanjung terbesar. Dalam peta dunia, dengan luas mencapai kurang lebih
seperempat wilayah Eropa, atau sepertiga wilayah Amerika, yaitu 2.745.900 km. Di
samping itu, semenanjung Arab termasuk salah satu wilayah terkering dan
terpanas, karena sebagian besar datarannya terdiri dari gurun pasir dan
pegunungan tandus.
Yang menjadi pertanyaan banyak orang
kemudian adalah, mengapa Allah–subhana-Hu wata’ala–memilih semenanjung
gersang ini sebagai tempat kelahiran Islam? Mengapa tidak memilih belahan dunia
lain? Mengapa Allah–subhana-Hu wata’ala–memilih bangsa Arab, yang waktu
itu (abad ke-6 M), jauh terbelakang dalam hal peradaban, jika dibandingkan
bangsa-bangsa lain di sekitarnya, seperti Romawi dan Persia, sebagai generasi
pertama yang menerima risalah Muhammadiyyah? Mengapa tidak memilih bangsa yang
berperadaban lebih maju saja?
Sebelum menjawab pertanyaan-pertanyaan
ini, kita terlebih dahulu perlu mengetahui bagaimana kondisi Arab dan
peradaban-peradaban lainnya seperti Romawi, Persia, India, dan Yunani, yang ada
pada masa pra kelahiran Islam. Tulisan ini akan fokus membahas tentang kondisi
bangsa-bangsa tersebut ditinjau dari berbagai aspek kehidupan.
Persia
Waktu itu, Persia, yang merupakan salah
satu negara adikuasa dunia–selain Romawi Timur (Bizantium) –adalah ladang subur
berbagai khurafat keagamaan dan filsafat yang saling bertentangan. Salah
satunya adalah Zoroaster yang menjadi keyakinan kaum penguasa. Di antara
ajarannya adalah mengutamakan perkawinan dengan ibu kandung, anak perempuan,
atau saudara perempuan sendiri. Sebab itu, kemudian Yazdajird II (yang
memerintah pada pertengahan abad kelima masehi) mengawini anak perempuannya
sendiri.
Di persia juga terdapat ajaran Mazdakiah,
yang menghalalkan wanita secara bebas, membolehkan pemilikan harta orang lain
secara zhalim, dan menjadikan manusia sebagai serikat dalam keduanya
sebagaimana perserikatan manusia dalam masalah air, api, dan rumput. Artinya,
wanita dan harta adalah milik bersama yang berhak digunakan dan dinikmati siapa
saja. Karena itu, seseorang dianggap sah-sah saja merebut sesuatu milik orang
lain. Ajaran ini memperoleh sambutan luas dari kaum pengumbar hawa nafsu.
Romawi Timur (Bizantium)
Bangsa ini tidak kalah rusak dari Persia.
Romawi timur merupakan bangsa yang penuh dengan semangat kolonialisme. Pertentangan
agama di kalangan mereka (baik antar sesama Kristen atau keyakinan lain) selalu
berujung dengan persekusi dan pertumpahan darah. Demi menyebarkan agama Kristen
dan mempermainkannya sesuai hawa nafsu, mereka tidak segan-segan mengerahkan
kekuatan militer serta ambisi kolonialnya. Di samping itu, penyalahgunaan,
kelaliman, dan kemerosotan ekonomi, telah menyebar ke seluruh penjuru negeri
Bizantium akibat melimpahnya penghasilan dan menumpuknya pajak.
Yunani
Kondisi Yunani juga tidak lebih baik dari
mereka. Negeri ini tenggelam dalam lautan khurafat dan mitologi yang tidak
pernah mengantarkan pada kesimpulan yang bermanfaat.
India
Para penulis sejarah India sepakat bahwa,
India yang pada zaman dahulu unggul dalam berbagai macam disiplin keilmuan,
seperti ilmu pasti, perbintangan, kedokteran, dan filsafat, kemudian mengalami
puncak degradasi agama, moral, dan sosial, sejak awal abad ke-6 M. Akhirnya, di
India, tersebar pengumbaran nafsu yang meluas hingga ke dalam tempat-tempat
ibadah, sebagai sesuatu yang tak tercela, karena agama telah memolesnya dengan
bentuk peribadatan dan kesucian.
Perempuan India tidak lagi memiliki harga
dan tanpa perlindungan. Kaum laki-laki menjadikan istrinya sebagai pertaruhan. Jika
ditinggal mati suaminya, maka seorang perempuan dibakar hidup-hidup, ia tidak
boleh menikah dan tidak lagi dihargai. Di samping itu, sesuai tradisi,
khususnya di kalangan masyarakat kelas atas dan bangsawan, seorang janda
membakar dirinya atas kematian suaminya sebagai bentuk penebusan hutang dan
melarikan diri dari kesengsaraan.
Arab
Sementara itu, Bangsa Arab sendiri
terkenal senang mabuyk-mabukan dan bermain judi. Watak keras dan
kegagahberanian mereka yang mampu menipu membuat mereka tanpa segan mengubur
hidup-hidup anak perempuan. Mereka sering menyerang dan membegal kafilah. Selain
itu, di Arab harga diri perempuan benar-benar jatuh. Mereka mewariskan
perempuan sebagaimana benda atau hewan. Ada makanan-makanan khusus yang hanya
boleh dimakan oleh laki-laki dan terlarang bagi perempuan. Seorang laki-laki
bebas menikah dengan banyak perempuan tanpa ada batasan. Kemudian, sebagian
mereka ada yang membunuh anaknya karena takut tidak bisa memberi nafkah atau
takut jatuh dalam kemiskinan. Mereka juga laurt dalam fanatisme golongan yang berlebihan
dan senang berperang.
Kesimpulan
Semua peneliti sejarah sepakat bahwa pada
abad ke-6 dan ke-7 M, yang merupakan masa kelahiran dan pertumbuhan Islam,
dunia benar-benar berada dalam “era kegelapan”. Pada waktu itu, manusia hidup
dalam kebudayaan, adat istiadat, serta keyakinan-keyakinanan yang rusak. Mereka
lupa pada Sang Pencipta, mereka tidak lagi pandai membedakan kebaikan dan
keburukan, kebatilan dan kebenaran.
Namun demikian, menurut penelitian Dr. Said
Ramadan al-Buthi, dibandingkan bangsa lainnya ketika itu, bangsa Arab bisa
dikatakan lebih baik. Arab tidak memiliki kemewahan dan peradaban Persia, yang
memungkinkan mereka pandai menciptakan kemerosotan-kemerosotan, filsafat serba
boleh, dan kebejatan moral yang dikemas dalam bentuk agama. Arab tidak memiliki
kekuatan militer Romawi yang mendorong mereka untuk melakukan ekspansi ke
negara-negara tetangga. Arab juga tidak menguasai kekayaan filsafat Yunani yang
menjerat mereka dalam mitos dan khurafat.
Waktu itu, Bangsa Arab lebih seperti bahan
baku yang masih murni dan belum tercampur dengan bahan lain. Mereka masih
kental dengan fitrah suci manusia dan kecenderungan-kecenderungan terpuji
seperti sifat penolong, tepat janji, dermawan, dan menjauhi hal tercela. Hanya saja,
kemiskinan akan pengetahuan sering menyebabkan mereka tidak bisa menyatakan
sifat-sifat terpuji tersebut dengan semestinya.
Dengan maksud menjaga kemuliaan dan
menjauhkan diri dari kehinaan, mereka
membunuh anak perempuan. Dengan maksud menjaga kedermawanan, mereka merusak
kebutuhan-kebutuhan pokok. Dengan maksud menolong, mereka mengobarkan
peperangan.
Jadi, dari sini bisa disimpulkan, berbagai
kebejatan yang dilakukan Bangsa Arab tak lebih lebih dikarenakan mereka adalah
masyarakat nomaden yang jauh dari peradaban. Menurut al-Buthi saat itu Bangsa
Arab tenggelam dalam kegelapan kebodohan yang alami dan primitif, atau dalam
istilah Abul-Hasan Ali an-Nadwi, al-Jahlu al-Basith. Sedangkan bangsa-bangsa
lain melakukan kebejatan-kebejatan dalam kondisi telah berperadaban. Sehingga,
an-Nadwi menggolongkan bangsa-bangsa tersebut ke dalam kategori al-Jahlu
al-Murakkab.[]
EmoticonEmoticon