Mengapa Islam di saat Dinasti
Abbasiyah yang berpusat di Baghdad begitu cemerlang? Mengapa ia dipuji selaku
mercusuar peradaban dunia? Mengapa karya-karya berskala dan berkaliber
ensiklopedia muncul saat itu? Mengapa dia menjadi sumber pengetahuan modern? Karena,
Khalifah Abu Ja’far al-Manshur bukan sekadar penguasa biasa yang asuik
memerintah dan memungut pajak. Karena ia punya pandangan jauh ke depan. Karena
mencerdaskan manusia. Karena ia menyebarkan wawasan.
Karena ia menggalakkan
terjemahan. Karena ia perintahkan Baikhtaisyu Kabir dan Fadl ibn Naubakht serta
Abdullah ibn Muqaffa menerjemahkan berbagai buku ilmu pengetahuan ke dalam
Bahasa Arab. Segala rupa buku: kedokteran, ilmu pasti, falsafah, dari Bahasa Yunani,
Persia, dan Sansekerta. Lewat penerjemahan itu, orang Arab meningkat mutunya.
Bukan sekadar Abu Ja’far
al-Manshur saja. Khalifah berikutnya juga mengikuti jejaknya. Khalifah al-Ma’mun
ibn Harun ar-Rasyid mendirikan ‘Daruh Hikmah’. Sebuah akademi ilmu pengetahuan.
Sudah pasti inilah akademi jenis itu pertama di dunia. Dilengkapi perpustakaan.
Dilengkapi badan penerjemah. Dilengkapi observatorium bintang. Dan sebuah
universitas pimpinan Muhammad ibn Sallam. Anggota akademi berhamburan ke mana-mana,
membawa pulang ke Baghdad tumbukan buku-buku untuk diteliti dan diterjemahkan
ke dalam Bahasa Arab. Mereka kembali ke rumah bagaikan lebah yang sarat dengan
madu, diisap oleh murid-murid yang bersemangat dan membentuk iklim kerja keras
yang luar biasa.
Memang benar, Hulagu Khan
1258 M., menerobos masuk Mesopotamia, dan dari atas kudanya memporak-porandakan
Baghdad. Memang benar tamtalah Dinasti Abbasiyah. Apa betul kegemilangan menuju
ilmu juga ikut musnah? Tidak. Gudang buku yang begitu banyak memang diboyong
habis. Tapi tidak dibuang ke comberan. Buku-buku itu dibawa ke Samarkand. Kota
Rusia ini mengambil alih peran Baghdad, bakan ditambah dengan teropong bintang,
dan Hulagu Kgan memeluk agama Islam. Dan pada saat nyaris berbarengan, sang
saudara Kubilai Khan memeluk Agama Budha, memindahkan ibu kota kerajaannya ke
Cathay, mengatur administrasi Tiongkok dengan bersih, menjadi kepala negara
yang tidak terungguli ssaat itu di dunia.
***
Hal serupa terjadi di Jepang
800 tahun sesudah itu. Isolasi di bawah kungkungan rezim feodalisme yang beku
telah membiarkan negeri itu terbelakang dalam hampir semua aspek: ilmu,
ekonomi, dan kekuatan militer. Ketertutupan mengakibatkan Jepang suatu
masyarakat pikun berhadapan dengan negeri-negeri Barat yang maju. Atas dorongan
kelompok-kelompok pembaharu dari kelas menengah yang umumnya berpusat di
Satsuma dan Choshu, fajar baru mulai menyingsing.
Orang mengenalnya dengan
sebutan ‘Restorasi Meiji’, masa pemerintahan di bawah Kaisar Meiji, 1869-1912.
Apa sesungguhnya sudah terjadi? Mahasiswa Jepang mengambil banyak ilmu ke luar
negeri, dan membawa pulang ke Jepang. Negeri itu perlu investasi, dan investasi
terpokok adalah manusia berkualitas. Di samping memerlukan “samurai”, Jepang
memerlukan “cerdik-cendikiawan”. Di samping mengandalkan pedang, juga mereguk
ilmu sebanyak-banyaknya, ditopang dengan rasa kolektivitas dan percaya diri
yang tinggi, mendorong Jepang maju pesat.
Lagi-lagi penerjemahan
merupakan salah satu kunci penting bagi kemajuan peradaban. Apa yang dilakukan
Kaisar Meiji persis yang dilakukan
Khalifah Abu Ja’far al-Manshur atau Khalifah Ma’mun bin Harun ar-Rasyid 800
tahun lebih dulu. Mencetak buku sebanyak-banyaknya untuk masyarakat,
menerjemahkan buku bahasa asing ke bahasa anak negeri, menanamkan kebiasaan
membaca bagi generasi baru sejak dini, merupakan satu-satunya sarat
berkembangnya peradaban.
***
Akan halnya arti penting penerjemahan,
Indonesia harus mulai bergerak ke arah terjemahan. Terutama kitab-kitab dan
buku-buku Islam karya para cerdik-cendikia dan ulama masa lampau. Memang,
banyak sekali terjemahan bisa didapati di etalase-etalase toko-toko buku, tapi
jumlah itu sama sekali tidak berarti dibandingkan usaha bangsa lain
menerjemahkan buku-buku asing ke dalam bahasa anak negerinya. Satu-satunya hal
yang membuat anak negeri enggan menjamah buku-buku cemerlang yang menjadi master
piece Islam, ialah karena ketidaktahuan dan ketidakmampuan mereka dalam
menangkap pesan teks yang tertulis di dalam buku-buku itu. Alih-alih ingin
memahami dan menangkap, membaca saja tidak bisa.
Belajar dari pengalaman
khalifah-khalifah Abbasiyah dan Restorasi Meiji yang hingga sekarang terus
berkembang, perlulah masalah terjemahan ini merupakan kemutlakan nasional.
Mestinya proyek penerjemahan ini menjadi proyek besar-besaran. Dari mana
datangnya kemajuan bilamana kita menutup pintu dari pikiran-pikiran orang lain
sebagai bandingan? Selama kemampuan berbahasa asing, terutama Bahasa Arab, kita
masih terbatas, jalan keluar satu-satunya adalah lewat terjemahan itu.
Saya tahu, banyak pemuka
agama di negeri ini kurang berselera dengan terjemahan buku, berteguh hati
supaya orang seyogyanya membaca langsung dari bahasa aslinya, bahasa Arab. Bila
memang mampu tentu lebih bagus. Saya juga tahu, sekarang ini banyak suara yang
menganjurkan membaca kitab kuning. Anjuran ini sangat bagus dan perlu didukung,
bagi mereka yang telah menguasai gramatika Bahasa Arab. Selanjutnya, bagaimana
menghadapi yang kurang beruntung?
Maka ada dua solusi. Pertama,
menggalakkan terjemahan-terjemahan kitab-kitab atau buku-buku berbahasa Arab
yang ditulis oleh ulama kita pada masa lampau. Hal ini penting melihat sejarah
masa lalu berbicara tentang urgensitas mempelajari ilmu yang ditulis dengan
bahasa anak negeri. Kedua, mencetak generasi muda sebagai “kamus bahasa
asing berjalan”. Dalam hal ini, tugas pesantren dan tugas lembaga-lembaga
keislaman di negeri ini sangat dibutuhkan. Kedua hal ini merupakan sebuah
anjuran yang perlu ditanggapi serius dan barangkali bisa menjadi inspirasi bagi
kita akan pentingnya mempelajari bahasa asing, terutama Bahasa Arab bagi
seorang muslim. Maka anjuran untuk menjadi “kamus berjalan” juga harus
diberangi dengan seruan menerjemahkan buku-buku itu ke dalam Bahasa Indonesia.
Mengapa tidak? []
EmoticonEmoticon