ٍSyekh al-Mushtafa al-Ghalayayni |
Kontributor: Muhairil Yusuf
Pasukan Laut - Tidak pernah terlintas di benak kita, seorang kolonel tentara bisa menjadi seorang figur ulama terkemuka, apalagi sampai menjabat sebagai pimpinan Insitut Islam di Beirut Lebanon. Namun, apa yang dicapai al-Ghalayayni membuat mulut kita menganga, membuat hati berdecak kagum, serta angkat topi tanda penghormatan dan kapasitasnya. Ia mampu membuktikan bahwa siapapun bisa menjadi orang sukses, sebab ia yakin bahwa di muka bumi ini tidak ada yang mustahil, selama ia mau berusaha. Buktinya, al-Ghalayayni dengan latar belakang seorang kolonel tentara mampu melakukan tindakan yang spektakuler. Ia mampu menjadi ulama kontemporer, bahkan lebih dahsyatnya lagi ia mampu menjadi direktur Institut Islam di Beirut.
Al-Ghalayayni lahir pada tahun 1303 H / 1886 M di Beirut. Nama lengkapnya ialah Mushtafa bin Muhammad Salim al-Ghalayayni. Ia masyhur sebagai sosok penyair, penulis produktif, motivator handal, sekaligus ia menjadi salah satu anggota lembaga sains di Arab. Namun, di balik profesi-profesinya itu, ia juga punya kesibukan di bidang militer, sebab ia ditunjuk sebagai motivator tentara oleh Dinasti Utsmani (Turki Ottoman) ketika itu.
Rihlah Studi al-Ghalayayni
Layaknya perjalanan intelektual ulama yang lain, al-Ghalayayni menghabiskan masa mudanya dengan mempelajari bebeapa disiplin ilmu di desanya, seperti ilmu tafsir, gramatika Arab, retorika Arab, syair, etika, tarikh, fikih, dan lain sebagainya. Tidak cukup sampai di sini, setelah ia tumbuh dewasa, ia melanjutkan studinya ke lintas negara, untuk menimba ilmu kepada para ulama terkemuka di berbagai negara. Pada usia yang masih terbilang muda, ia berangkat ke Mesir, tujuannya tak lain ialah menimba ilmu pada Syaikh Muhammad Abduh (w. 1320 H). Berbekal kecerdasannya, al-Ghalayayni mampu menyerap berbagai disiplin ilmu dari gurunya tersebut.
Al-Ghalayayni Menjadi Guru
Al-Ghalayayni yang telah menguasai berbagai ilmu pengetahuan, membuat dirinya dikenal oleh banyak orang di kalangan masyarakat Arab, khususnya di Mesir. Kapasitasnya bukan hanya diketahui oleh kalangan masyarakat biasa, akan tetapi pemerintah pun ketika itu juga mengetahui kapasitas keilmuan al-Ghalayayni. Ini semua terlihat jelas dari sikap pemerintah yang meminta al-Ghalayayni untuk menyalurkan ilmu pengetahuannya di Madrasah Kerajaan.
Setelah mendengar permintaan itu, al-Ghalayayni menyetujui permintaannya. Akan tetapi, al-Ghalayayni menekuni profesi tersebut hanya selama empat tahun, sebab ia harus pulang untuk menyalurkan pengetahuannya di Beirut (tempat kelahirannya).
Al-Ghalayayni sebagai Motivator dan Kolonel Tentara
Ketika al-Ghalayayni menjalani masa-masa hidupnya di Mesir, tanpa diduga Inggris melancarkan serangan pada daerah bagian Mesir dan sekitarnya. Inggris mengirim pasukan pada daerah-daerah yang menjadi sekutunya, sebab Inggris mempunyai misi ingin menguasai daerah itu. Namun, pemerintah Mesir pada saat itu tidak tinggal diam, dia langsung menyiapkan tentara untuk memberikan perlawanan pada tentara Inggris. Tragedi ini termasuk rentetan kejadian Perang Dunia Pertama. Sebagaimana kebiasaan ketika hendak berperang, di sana pasti akan tampil terlebih dahulu motivator untuk membangkitkan semangat perang tentaranya masing-masing. Ketika itu, sang pemimpin memandang sosok al-Ghalayayni memiliki skill. Ia langsung menunjuknya sebagai sang motivator tentara.
Tentara itu kemudian dikirim ke daerah bagian Damaskus untuk melawan tentara Inggris di sana. Singkat cerita, pasca peperangan di Damaskus, al-Ghalayayni menetap di sana. Sebab ia dipercaya untuk memimpin tentara yang berorperasi di Damaskus, sehingga keadaan benar-benar stabil.
Namun tidak begitu lama ia bertugas di sana, al-Ghalayayni mendapatkan tugas baru dari Dinasti Utsmani, yakni menyelesaikan konflik yang terjadi di Beirut, tanah kelahirannya. Al-Ghalayayni pun langsung bergerak ke Beirut bersama pasukannya. Setibanya di sana, mereka langsung diserang oleh para pemberontak, sehingga terjadi kontak senjata di antara mereka, yang disebut tragedi As'adu Bika pada tahun 1922 M. Setelah mampu mengatasi perlawanan para pemberontak, al-Ghalayayni menetap di bagian timur daerah Urdun.
Kehidupan al-Ghalayayni di Beirut
Setelah menyelesaikan studinya di Mesir, ia pulang ke Beirut. Setibanya di Beirut, dengan kapasitas keilmuan yang tidak diragukan lagi, ia mendapat sambutan yang begitu hangat dari penduduk setempat. Bahkan, pemimpin Beirut, Syarif Abdullah, ketika itu langsung memberi kepercayaan kepadanya untuk mengajari putra-putranya di kerajaan, sehingga al-Ghalayayni mengisi hari-harinya dengan mendidik putra-putra sang raja.
Setelah sekian lama menekuni profesi ini, al-Ghalayayni diangkat menjadi Direktur Lembaga Islam di Beirut, sekaligus diangkat sebagai Qadhi Syari'ah (Hakim Syariat) oleh Syarif Abdullah sang Pemimpin Beirut. Perubahan tanggung jawab ini ia tekuni semua dengan penuh keikhlasan karena Allah--subhana-Hu wata'ala--semata dan mengarap ridha-Nya, sehingga ajalnya tiba pada tahun 1364 / 1944 M.
Karya-karya al-Ghalayayni
Dengan kesibukannya tersebut, ternyata al-Ghalayayni masih bisa menyisihkan waktunya untuk menuangkan pemikirannya dalam bentuk karya-karya yang mampu menggugah semangat kita. Di antara karyanya ialah: Nazharah fil-Lughah wal-Adab, 'Izhzhatun-Nasyi'in, Lubabul-Khiyar fi Sirah an-Nabi al-Mukhtar, Khiryarul-Maqul fi Siratir-Rasul, al-Islam ar-Ruh al-Madaniyyah, Nazharat fi Kitabis-Surur wal-Hijab, Jami'ud-Durus, dan masih banyak karya-karya lain yang membuktikan kredibilitasnya sebagai seorang ulama yang ikut meramaikan khazanah keilmuan Islam walaupun dia masih disibukkan dengan tugasnya sebagai seorang kolonel.[]
EmoticonEmoticon