[Kontributor: Muhammad Abbas Busyro]*
Pasukan Laut - Diskursus mengenai pemimpin non-muslim di
negara mayoritas muslim, sejatinya, bukanlah hal baru dalam sejarah Islam.
Tidak hanya di Indonesia, bahkan di belahan bumi lainnya yang berkependudukan
mayoritas muslim, juga sering seringkali menjadi polemik yang nyaris tidak
menemukan titik final. Bahkan, pada waktu tulisan ini disusun, saya sedang
berada di sebuah wilayah di Indonesia, yang memiliki pemimpin non-muslim.
Namun, jika disimpulkan, umat Islam tetap diharamkan memilih pemimpin
non-muslim.
Terdapat
banyak dalil yang melarang memilih orang kafir sebagai pemimpin. Di antaranya, firman Allah Swt: “Allah tidak akan memberikan jalan
kepada orang kafir untuk menguasai kaum mukminin.” (QS. an-Nisa’ [04]: 141).
Al-Qadhi
Ibnul Arabi mengatakan: “Sesungguhnya
Allah Swt tidak akan
menjadikan orang kafir untuk menguasai kaum mukminin secara aturan syariat.
Jika itu terjadi, berarti menyimpang dari aturan syariat.” (Ahkâm al-Qur’ân, 1/641)
Allah swt juga berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah, taatilah
rasul-Nya dan ulil amri di antara
kalian.” (QS. an-Nisa’ [04]: 59)
Kalimat ‘minkum’
yang artinya di antara kalian, maksudnya adalah di antara kaum muslimin. Sehingga, mereka tidak boleh memilih
pemimpin non-muslim. Ketika menafsirkan
surat Ali Imran ayat 118, al-Qurthubi
mengatakan: “Allah Swt melarang kaum mukminin,
berdasarkan ayat ini untuk memilih orang kafir, orang Yahudi, dan pengikut
aliran sesat untuk dijadikan sebagai orang dekat, orang kepercayaan.
Menyerahkan segala saran dan pemikiran kepada mereka dan menyerahkan urusan
kepada mereka.” (Tafsîr al-Qurthubî, 4/179).
Al-Qadhi
Iyadh mengatakan: “Para ulama
sepakat bahwa kepemimpinan tidak boleh diserahkan kepada orang kafir. Termasuk
ketika ada pemimpin muslim yang melakukan kekufuran,
maka dia harus dilengserkan.”
(Syarah Shahîh Muslim, an-Nawawi,
6/315). Pendapat ini diperkuat
dengan pernyataan Ibnul Mundzir: “Para ulama yang dikenal telah sepakat bahwa orang kafir tidak ada
peluang untuk menjadi pemimpin bagi kaum muslimin apapun keadaannya.” (Ahkâm Ahli Dzimmah, 2/787)
Al-Hafidz
Ibnu Hajar bahkan memberikan keterangan lebih sangar: “Sesungguhnya pemimpin dilengserkan
karena kekufuran yang meraka lakukan, dengan sepakat ulama. Wajib kaum muslimin untuk melengserkannya. Siapa
yang mampu melakukan itu, maka dia mendapat pahala. Dan siapa yang basa-basi
dengan mereka, maka dia mendapat dosa. Dan siapa yang tidak mampu, wajib
baginya untuk hijrah dari daerah itu.” (Fath
al-Bârî, 13/123)
Badruddin al-Hamawi asy-Syafi’i menyatakan dengan jelas keharaman memilih pemimpin dan
juga aparat dari kalangan kafir dzimmi: “Tidak boleh mengangkat (kafir) dzimmi untuk jabatan apapun yang mengatur umat
Islam, kecuali untuk memungut
upeti penduduk kalangan dzimmi atau untuk memungut pajak transaksi
jual-beli penduduk dari kalangan musyrikin. Sedangkan untuk memungut upeti,
pajak seper sepuluh, atau retribusi lainnya dari penduduk muslim, tidak boleh
mengangkat kalangan dzimmi sebagai aparat pemungut retribusi ini. Dan
juga tidak boleh mengangkat mereka untuk jabatan apapun yang menangani
kepentingan umum umat Islam.” Lalu
ia melanjutkan dengan surat an-Nisa’ ayat 141 di atas. “Siapa
yang mengangkat dzimmi sebagai pejabat yang menangani hajat
muslim, maka sungguh ia telah memberikan jalan bagi dzimmi untuk menguasai
muslim.” (Badruddin al-Hamawi asy-Syafi’i,Tahrîr al-Ahkâm fî Tadbîri
Ahli al-Islâm, Daruts Tsaqafah, Qatar, 1988).
Fatwa-fatwa
yang disampaikan para ulama di atas, berdasarkan Hadis dari Ubadah bin Shamit Ra: “Kami berbaiat kepada Nabi Saw untuk selalu mendengar dan taat
kepada pemimpin, baik dalam suka maupun benci, kesulitan maupun mudah, dan beliau juga menandaskan kepada kami
untuk tidak mencabut suatu urusan dari ahlinya kecuali jika kalian melihat
kekufuran secara nyata dan memiliki bukti yang kuat dari Allah.” (Muttafaq
‘alaih)
Lalu, bagaimana dengan desas-desus di
media-media maensteream, bahwa pemimpin dalam Islam tidaklah harus muslim,
asalkan jujur, amanah dan adil? Untuk menjawabnya, mari kita simak pendapat
beberapa ulama di bawah ini:
Dalam Kitab at-Tuhfah li-Ibni Hajar
al-Haitamî, juz IX, hlm 72, disebutkan: “Orang Islam tidak boleh meminta
bantuan kepada orang kafir dzimmi atau lainnya kecuali jika sudah sangat
terpaksa. Menurut dhahir pendapat mereka, bahwa meminta bantuan orang kafir
tersebut tidak diperbolehkan walaupun dalam keadaan dharurat. Namun dalam tatimmah disebutkan tentang
kebolehan meminta bantuan tersebut jika memang
sangat dharurat.”
Dalam kitab asy-Syarwanî ‘alâ at-Tuhfah, juz IX, hlm 72-73 juga disebutkan: “Jika suatu kepentingan mengharuskan
penyerahan sesuatu yang tidak bisa dilaksanakan oleh orang lain dari kalangan
umat Islam atau tampak adanya pengkhianatan pada si pelaksana dari kalangan
umat Islam dan aman berada di kafir dzimmi, maka boleh menyerahkannya karena
dharurat. Namun demikian, bagi pihak
yang menyerahkan, harus ada pengawasan terhadap orang kafir tersebut dan mampu
mencegahnya dari adanya gangguan terhadap siapa pun dari kalangan umat Islam.”
Juga bisa disebutkan dalam al-Mahallî ‘alâ al-Minhâj, juz IV, hlm 172: “Orang Islam tidak
boleh meminta bantuan kepada orang kafir, karena haram menguasakan orang kafir terhadap umat Islam kecuali karena sangat dharurat.”
Darurat di sini, setidaknya mengarah pada: a) Dalam bidang-bidang yang tidak bisa
ditangani sendiri oleh orang Islam secara langsung atau tidak langsung karena
faktor kemampuan; b) Dalam bidang-bidang yang ada orang Islam berkemampuan untuk menangani, tetapi terdapat indikasi kuat
bahwa yang bersangkutan khianat; dan
c) Sepanjang penguasaan urusan kenegaraan kepada non-Islam itu nyata
membawa manfaat. Namun demikian, orang
non-Islam yang dimaksud berasal dari kalangan ahlu dzimmah dan harus ada
mekanisme kontrol yang efektif. Wallâhu a‘lam. []
*Profil Penulis:
M. Abbas Busro lahir di Bangkalan, 09 Desember 1988 M.
Pernah mengenyam pendidikan agama di PP. Al-Hasyimiyah (Sekarang Nurul Hasyim),
Modung, Bangkalan, PP. Darul Falah, Bangsri, Jepara, dan PP. Sidogiri, Kraton,
Pasuruan. Pernah aktif menjadi Pustakawan Perpustakaan Sidogiri (2007-2010),
Ketua Omim (Organisasi Murid Intra Madrasah) Aliyah Madrasah Miftahul Ulum
Pondok Pesantren Sidogiri (2012-2013), Wakil Kepala Badan Pers Pesantren Pondok
Pesantren Sidogiri (2012-2013), Staf Redaksi Majalah MAKTABATUNA (2009-2010),
Pimpinan Redaksi Buletin NASYITH (2011-2012), Redaktur Pelaksana Majalah
IJTIHAD (2011-2012), Pimpinan Umum dan Editor Majalah IJTIHAD (2012-2013)
Pimpinan Redaksi Majalah IJTIHAD (2013-2014), Staf Redaksi Buletin al-Ummah
(2014), Staf Redaksi Buletin Istidlal (2015-2016), Pemimpin Redaksi Buletin
al-Ummah (2015-2016), dan Editor Buletin al-Ummah (2016-sekarang). Ia mengaku
mulai terjun dalam dunia tulis-menulis sejak duduk di bangku kelas 1 Tsanawiyah
Madrasah Miftahul Ulum Pondok Pesantren Sidogiri. Ia juga sempat menduduki
juarai I kategori Lomba Insya’ Arabi (penulisan karya tulis ilmiyah berbahasa
Arab) di Hari Jadi ke-272 Pondok Pesantren Sidogiri. Karya-karyanya bertebaran
di media-media pesantren, mulai dari puisi, cerpen, esai, artikel, dan
sebagainya. Kini ia hanya mengisi hari-harinya dengan bermain-main dengan
keyboard dan mengembara dalam dunia imajinasi. Bagi yang ingin mengirimkan
kritik dan saran, bisa menghubunginya melalui: 1) Email:
santri.salaf@rocketmail.com; 2) Facebook: www.facebook.com/santriwan.salaf; 3)
Twitter: www.twitter.com/MubasSahmiIlyas; kompasiana:
www.kompasiana.com/mubassahmiilyas; 4)
Blog: www.mubassahmiilyas.blogspot.com; Wordpress: www.mubassahmiilyas.wordpress.com
EmoticonEmoticon