Pasukan Laut
طَلَبُكَ مِنْهُ اتِّهَامٌ لَهُ وَطَلَبُكَ لِغَيْرِهِ لِقِلَّة حَيَائِكَ
“Permintaanmu
kepada-Nya pertanda kecurigaan. Permintaanmu dalam urusan selain-Nya, lantaran secuil
rasa malu yang ada.”
~Syekh
Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari dalam Kitab al-Hikam
Dalam proses
pendakian spiritualnya, seorang salik tidak layak memikirkan dan mengurusi
balasan Allah–subhana-Hu wata’ala–yang akan diberikan kepadanya dengan
cara meminta. Mestinya, hal yang harus dia lakukan adalah berusaha mendekatkan
diri kepada-Nya serta memenuhi hak-haknya sebagai seorang hamba.
Apabila salik
menengadahkan tangan untuk memohon rizki kepada Allah–subhana-Hu wata’al–karena
ada perasaan khawatir Allah–subhana-Hu wata’ala–tidak akan memberi
rizki, maka jelas hal itu merupakan tuhmah (kecurigaan): beranggapan
bahwa Allah–subhana-Hu wata’ala–tidak akan memberi rizki tanpa didahului
dengan permohonan. Dan tentunya hal itu sangat tercela.
Namun perlu
digaribawahi bahwa demikian itu memang berangkat dari warid (intuisi
Ilahi) yang dianugerahkan ke dalam hatinya.
Karenanya,
dalam pandangan tasawwuf, doa bukan berarti mengatur kehendak Allah–subhana-Hu
wata’ala, tetapi doa merupakan cerminan hati yang dipenuhi rasa iftiqar (butuh
kepada anugerah Allah–subhana-Hu wata’ala). Sebab, tidak ada yang dapat
mengabulkan segala permohonan kecuali Allah–subhana-Hu wata’al–semata. Di
samping itu, doa merupakan anjuran dan perintah-Nya sebagai bentuk ibadah.
Dengan seperti ini, doa akan dinilai sebagai mukhkhul-‘ibadah (inti
ibadah) seperti yang sabdakan baginda Nabi Muhammad–shallal-Lahu ‘alaihi
wasalla.
Namun,
apabila doa itu murni dijadikan sebagai sarana untuk meminta-minta kepada Allah–subhana-Hu wata’ala–dengan dasar kecurigaan serta tanpa niat
ibadah, maka hal itu sangat dicela sesuai dengan pesan yang terkandung di dalam
mutiara hikmah yang disampaikan oleh Syekh Ibnu ‘Ata’illah di atas.
Sebab dengan begitu, berarti salik masih
ragu dan belum mengenal sifat Allah–subhana-Hu wata’ala–dengan
baik. Bila salik yakin bahwa Allah–subhana-Hu wata’ala–telah menjamin kebutuhannya tanpa ada permohonan
serta dia beriktikad bahwa Allah–subhana-Hu wata’ala–Maha
Tahu dan Maha Kuasa untuk memberikannya tanpa doa, pasti dia tidak akan curiga
kepada Allah–subhana-Hu
wata’ala–dengan
menjulurkan tangan.
طَلَبُكَ مِنْهُ اتِّهَامٌ لَهُ
“Permintaanmu
kepada-Nya pertanda kecurigaan.”
Pada level
selanjutnya, salik harus memacu diri untuk selalu mendekatkan diri
kepada Allah–subhana-Hu wata’ala. Namun, untuk mencapai hal itu, salik
tidak perlu memohon kepada Allah–subhana-Hu wata’ala–untuk menjadi
orang yang dekat dengan-Nya. Karena hal itu menandakan posisi batinnya jauh
dari Allah–subhana-Hu wata’ala–dan belum wushul di pelataran
hadirat-Nya. Dan hal itu merupakan cela baginya.
Akan tetapi,
langkah yang harus ditempuh oleh salik untuk mendekatkan diri kepada-Nya
adalah menjalankan dan memenuhi segala kewajibannya sebagai seorang hamba
sesuai dengan warid (bisikan Ilahi dalam hati) yang menuntut aktivitas
ritualnya.
وَطَلَبُكَ لِغَيْرِهِ لِقِلَّةِ حَيَائِكَ لَهُ
“Permintaanmu
dalam urusan selain-Nya, lantaran secuil rasa malu yang ada.”
Tak jarang,
seorang salik merengek memohon kepada Allah–subhana-Hu wata’ala–untuk diberi pernak-pernik duniawi, kekeramatan,
jabatan bergengsi ataupun popularitas di mata sosial: hal-hal yang tidak
bersinggungan dengan ibadah kepada-Nya. Permintaan seseorang terhadap
pernak-pernik dunia tersebut menunjukkan bahwa dirinya tidak memiliki rasa malu
sedikitpun kepada Allah–subhana-Hu
wata’ala. Sebab, apabila
dalam hatinya terdapat rasa malu kepada Allah–subhana-Hu wata’ala–pasti dia tidak akan memohon tentang urusan dunia,
sebab itu bukan tujuan. Perbandingannya, apabila seorang salik memiliki
pendamping hidup (istri) yang sangat dia cintai, dan begitu pula sebaliknya,
tentunya satu sama lain tidak perlu meminta apa-apa. Karena, menjalani bahtera
rumah tangga dengan istri tercintanya sudah cukup membuat hatinya dipenuhi rasa
bahagia.
Pada intinya, amal ibadah yang dilakukan
oleh seorang salik harus dijauhkan dari tujuan-tujuan yang bukan inti
pokok ibadah. Usaha adalah suatu keniscayaan. Memohon rizki berarti curiga. Meminta
dekat pertanda jauh. Meminta hal yang tak bernilai ibadah menandakan kurangnya
rasa malu.
Sekali lagi, pesan-pesan mutiara yang
disampaikan Syekh Ibnu ‘Atha’illah as-Sakandari di atas sesungguhnya
menjelaskan bentuk warid yang ada pada hati salik. Baik dan
tidaknya doa salik tergantung pada tujuan hati. Karenanya, doa yang
bernilai ibadah dan dibalas pahala adalah doa yang dihiasi dengan rasa butuh
yang mendalam. Terkabul atau tidak bukan kehendak kita, tapi atas kehendak-Nya.
Wal-Lahu a’lam.[]
1 komentar so far
Izin share gambar
EmoticonEmoticon