Kontributor: Alil Wafa
Pasukan Laut - Sastra menempati posisi yang terbilang
penting dalam sejarah peradaban Islam. Sejarah sastra Islam dan sastra Islami
tak lepas dari perkembangan basa suci Islam dan al-Qur’an. Bahasa Arab klasik
atau Bahasa Arab Qur’ani mempu memenuhi kebutuhan religius, sastra, artistik,
dan bentuk formal lainnya. Sastra Arab (al-Adab al-‘Arabi) tampil dalam
beragam bentuk: prosa; fiksi; drama; puisi.
Lalu, bagaimanakah dunia sastra berkembang
dalam peradaban masyarakat Islam? Sejatinya, sastra Arab mulai berkembang sejak
abad ke-6 M, yakni ketika masyarakat Arab masih berada dalam peradaban
jahiliyah. Namun, karya sastra tertulis yang tumbuh era itu jumlahnya masih tak
terlalu banyak. Paling tidak, ada dua karya sastra penting terkemuka yang
ditulis sastrawan Arab di era pra-Islam. Keduanya adalah Mu’allaqat dan Mufaddhaliyat.
Orang pertama yang mengenalkan dunia Barat
dengan sastra Arab adalah William Jones (1746-1794 M), dengan bukunya Poaseos
Asiaticae Commen tarii Libri Sex, yang diterbitkan pada tahun 1774 M.
Sastra Arab memiliki ciri-ciri yang umumnya menggambarkan suatu kebanggaan
terhadap diri sendiri (suku), keuturunan, dan cara hidup. Sastra Arab memasuki
babak baru sejak agama Islam diturunkan di Jazirah Arab yang ajarannya
disampaikan melalui al-Qur’an. Kitab suci umat Islam itu telah memberi pengaruh
yang amat besar dan signifikan terhadap Bahasa Arab. Bahkan, al-Qur’an tak
hanya memberi pengaruh terhadap sastra Arab, namun juga terhadap kebudayaan
Arab secara keseluruhan.
Bahasa yang digunakan dalam al-Qur’an
disebut Bahasa Arab klasik. Hingga kini, bahasa Arab klasik masih sangat
dikagumi dan dihormati. Al-Qur’an merupakan firman Allah–subahana-Hu wata’ala–yang
sangat luar biasa. Terdiri dari 114 surat dan 6666 ayat, al-Qur’an berisi
tentang perintah, larangan, kisah, dan cerita perumpamaan begitu memberi
pengaruh yang besar bagi perkembangan sastra Arab. Sebagian orang menyebut
al-Qur’an sebagai karya sastra terbesar. Namun, sebagian kalangan tak
mendudukkan al-Qur’an sebagai karya sastra, karena merupakan firman Allah–subhana-Hu
wata’ala–yang tak bisa disamakan dengan karya manusia.
Penelitian serta penelusuran terhadap
masa-masa kehidupan Nabi Muhammad–shallal-Lahu ‘alaihi wasallam–telah
memicu para sarjana Muslim untuk mempelajari Bahasa Arab. Atas dasar
pertimbangan itu pula, para intelektual muslim mengumpulkan kembali puisi-puisi
pra-Islam. Hal itu dilakukan untuk mengetahui bagaimana sesungguhnya kehidupan
Rasulullah–shallal-Lahu ‘alaihi wasalla–sampai akhirnya menerimaa wahyu
menjadi Rasul.
Studi Bahasa Arab pertama kali sebenarnya
telah dilakukan pada era kekhalifahan Ali–karramal-Lahu wajhah. Hal itu
dilakukan setelah Khalifah menemukan masalah saat membaca al-Qur’an. Dia lalu
meminta Abu al-Aswad ad-Du’ali untuk menyusun tata bahasa (grammar)
Bahasa Arab. Khalil bin Ahmad lalu menulis Kitab al-‘Ayn, kamus pertama
Bahasa Arab. Sibawaih merupakan nama sarjana muslim yang menulis tata bahasa
Arab yang sangat populer berjudul al-Kitab.
Sejarah mencatat, sastra sangat berkemang
pesat di era keemasan Islam. Di masa kekhalifahan Islam berjaya, ssastra
mendapat perhatian yang amat besar dari para penguasa muslim. Tak heran, bila
di zaman itu muncul sastrawan Islam yang terkemuka dan berpengaruh. Di era
kekuasaan Dinasti Umayyah (661-750 M), gaya hidup orang Arab yang
berpindah-pindah mulai berubah menjadi budaya hidup menetap dan bergaya kota.
Pada era itu, masyarakat muslim sudah gemar
membacakan puisi dengan diiringi musik. Pada zaman itu, puisi masih sederhana. Puisi
Arab yang kompleks dan panjang disederhanakan menjadi lebih pendek dan dapat
disesuaikan dengan musik. Sehingga puisi dan musik pada masa itu seperti dua
sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan.
Sastra makin berkilau dan tumbuh menjadi
primadona di era kekuasaan Dauhlah Abbasiyah yang berkuasa di Baghdad pada abad
ke-8 M. Masa keemasan kebudayaan Islam serta perniagaan terjadi pada saat
Khalifah Harun ar-Rasyid dan putranya al-Ma’mun berkuasa. Pada era itu, prosa
Arab menempati tempat yang terhormat dan berdampingan dengan puisi.
Para sastrawan di era kejayaan Abbasiyah
tak hanya menyumbangkan kontribusi penting bagi perkembangan sastra di zamannya saja. Namun juga turut
mempengaruhi perkembangan sastra di Eropa era Renaisans. Salah seorang ahli
sastrawan yang melahirkan prosa jenius pada masa itu bernama Abu Utsman Umar
bin Bahr al-Jahiz (776-869 M), cucu seorang budak berkulit hitam.
Berkat prosa-prosa yang gemilang,
sastrawan yang mendapatkan pendidikan yang memadai di Bashrah, Irak, itu pun
menjadi intelektual terkemuka di zamannya. Karya terkemuka al-Jahiz adalah
kitab al-Hayawan atau ‘Buku tentang Binatang’, sebuah antologi
anekdot-anekdot binatang yang menyajikan kisah fiksi dan non-fiksi. Selain itu,
karya lainnya yang sangat populer adalah kitab al-Bukhala, Book of
Misers, sebuah studi yang jenaka namun mencerahkan tentang psikologi
manusia.
Pada pertengahan abad ke-10 M, sebuah
genre sastra di dunia Arab kembali muncul. Genre sastra baru itu bernama Maqamat.
Sebuah anekdot yang menghibur yang diceritakan oleh seorang pengembara yang
menjalani hidupnya dengan kecerdasan. Maqamat ditemukan oleh Badi’uz-Zaman
al-Hamadhani (w. 1008 M). Dari empat ratus maqamat yang diciptakannya,
kini yang masih tersisa dan bertahan hanya 42 maqamat.[]
EmoticonEmoticon