Kontributor: Fauzan Imron
Pasukan Laut
“Semoga Allah mencerahkan wajah orang yang mendengar perkataanku lantas ia menghapalnya, kemudian menyampaikan pada orang yang tidak mendengarnya”. (HR. At-Turmudzi, Abu Daud, dan Ibnu Hibban).
Dr. Hatim bin Arif bin Nasir al-‘Auni,
seorang dosen Universitas Ummul Qura, Mekah, melakukan penelitian terhadap 112
pelajar tentang Ilmu Hadis, apakah mereka kesulitan dalam memahami Ilmu Hadis?
Ternyata hasilnya, sekitar 71,5% menjawab iya dan sekitar 28,5% menjawab tidak.
Tentu hasil ini cukup mengejutkan, mengingat Hadis merupakan sumber rujukan
kedua setelah al-Qur’an. Maka, sebab itulah para cendekiawan muslim mencoba
mengampanyekan gerakan cinta Hadis untuk para pelajar, salah satunya dengan
sejak dini metode takhrijul-hadits.
Pengertian Takhrijul-Hadits
Kata takhrij adalah kata asal dari
kata akhraja yang secara bahasa berarti mengeluarkan sesuatu dari
tempatnya. Secara terminologi, takhrijul-hadits adalah melacak rawi dan
status Hadis pada kitab-kitab Hadis yang ada.
Adapun takhrij menurut istilah ahli
Hadis memiliki tiga macam pengertian:
Pertama, usaha mencari sanad Hadis yang terdapat dalam
kitab Hadis karya orang lain, yang tidak sama dengan sanad yang terdapat dalam
kitab tersebut. Usaha semacam ini dinamakan juga istikhraj. Misalnya
kitab al-Mustakhraj ‘ala Shahih al-Muslim karya Imam al-Hafizh Abu
Nu’aim al-Asbahani. Dalam kitab tersebut, al-Asbahani men-takhrij Hadis-hadis
yang ada dalam kitab Shahih Muslim menyebutkan beberapa sanad yang tidak
sama dengan sanad yang disebutkan oleh Imam Muslim sendiri. Kedua,
meriwayatkan Hadis disertai dengan menyebutkan mata rantai sanadnya. Ketiga,
mendeteksi status dan sanad suatu Hadis yang tidak diterangkan oleh perawi
atau pengarang suatu kitab. Lalu memberikan komentar tentang sanad dan status
Hadis tersebut.
Takhrijul-hadits dengan model semacam ini sering dilakukan oleh
ulama kontemporer (setelah abad ke-3 sampai sekarang). Misalnya Jamaluddin
al-Hanafi yang mengkaji Hadis-hadis yang ada dalam kitab Tafsir al-Kasysyaf.
Dan Abdurrahim al-‘Iraqi yang men-takhrij status Hadis-hadis yang terdapat dalam kitab Ihya’
‘Ulumiddin karya al-Ghazali . Hasil kajian al-‘Iraqi kemudian dibukukukan
oleh al-Mughni An Hamlil Asfal dengan judul Takhriju Ahaditsi Ihya’.
Seberapa Penting Takhrij
Faktanya, tidak semua orang menyadari akan
pentingnya men-takhrij sebuah
Hadis. Banyak orang yang meriwayatkan matan Hadis semata tanpa menyebut mata
rantai sanad dan menjelaskan status dan kapasitas Hadis tersebut, terutama bagi
mujtahid yang akan mencetuskan sebuah hukum syara’.
Sebab dengan mengetahui rantai transmisi
Hadis, maka akan diketahui kapasitas keabsahannya untuk dijadikan argumen syara’.
Di samping itu, orang yang mengetahui kapasitas Hadis, tidak akan gegabah
meriwayatkan Hadis dengan mengatasnamakan Nabi—shallal-Lahu ‘alaihi wasallam.
Kalau ternyata Hadis itu “Barang siapa berbohong mengatasnamakan diriku,
maka persiapanlah tempat di neraka” (HR. Bukhari dan Muslim).
Secara garis besar, ada beberapa manfaat takhrijul-hadits
antara lain sebagai berikut:
Pertama, menjaga keutuhan dan kelestarian Hadis-hadis
Rasulullah—shallal-Lahu ‘alaihi wasallam, sehingga tetap eksis sampai
hari kiamat. Kedua, dapat memberikan informasi terhadap kapasitas
Hadis (shahih, hasan, dan dha’if). Ketiga,
mengetahui Hadis yang bisa dijadikan hujjah atau tidak. Keempat,
memberi kemudahan bagi orang yang mau mengamalkan isi Hadis, setelah tahu bahwa
Hadis tersebut berkapasitas maqbul (dapat diterima). Dan tidak diamalkan
apabila diketahui bahwa derajat Hadis tersebut mardud (tertolak). Kelima,
menguatkan keyakinan bahwa suatu Hadis adalah benar-benar berasal dari
Rasulullah—shallal-Lahu ‘alaihi wasallam—apabila derajat Hadis tersebut
mapan (shahih) dalam segi sanad maupun matan.
Langkah Men-takhrij Hadis bagi
Pemula
Ketika pemula mendengar Hadis yang tidak
disertai dengan sanadnya, maka langkah awal mengetahui sanad Hadis tersebut
dengan takhrijul-hadits ‘an thariqil matni (melacak Hadis melalui
redaksinya). Cara ini bisa dilakukan dengan melalui dua cara:
Pertama, melihat kalimat awal redaksi Hadis. “Innamal-‘amalu
bin-niyyat”. Kemudian cari kata ‘innama’ dalam kutubut-takhrij (kamus
Hadis), seperti kamus Hadis al-Jami’ush-Shaghir karya as-Suyuthi dan Mausu’atul-Athraf
an-Nabawiyyah, dan lain-lain. Selanjutnya, kamus Hadis akan memberi tahu
kitab-kitab yang memuat Hadis tersebut beserta sanadnya.
Kedua, melihat penggalan kata dalam matan Hadis. Metode
ini lebih mudah daripada metode pertama. Sebab kita tidak harus melihat kata
yang pertama dalam Hadis untuk melacaknya. Misalnya Hadis “Innamal-a’malu
bin-niyyat”, bisa dicari kata ‘innama’ bisa juga kata ‘al-a’mal’ ataupun
kata ‘an-niyyat’. Dan kitab yang dibutuhkan adalah kitab Mu’jamul-Mufahris
karya Dr. Arnold Jhon Wnsick (w. 1939 M), seorang orientalis berdarah
Belanda yang menjadi rektor di Universitas Leiden. Kitab tersebut merupakan
kamus Hadis yang disusun berdasarkan penggalan kata.
Ketiga, takhrijul-hadits ‘an thariqis-sanad (melacak
Hadis melalui mata rantai sanadnya). Cara ini dilakukan dengan melacak nama
rawi Hadis pada kitab-kitab khusus yang menjabarkan tentang semua profil dan
seluk beluk para perawi Hadis, seperti Tuhfatul Asyraf karya al-Hafizh
al-Mizzi.
Keempat, takhrijul-hadits bil-maudhu’ (melacak
Hadis melalui topiknya). Misalnya Hadis “Shallu kama ra’aitumuni ushalli”, maka
Hadis ini ditelusuri sesuai dengan topiknya, yaitu shalat. Kemudian carilah
sesuai dengan abjad. Dan kitab yang dibutuhkan ialah kitab Miftahi Kunuzi
as-Sunnah, yang disusun oleh Muhammad Fuad Abdul Baqi (hasil terjemahan
dari kamus Hadis karangan orientalis yang berjudul A Handbook of Early
Muhammadan).
Penutup
Pada saat ini, takhrij merupakan
metode yang tepat dan mudah untuk melacak asli dan tidaknya suatu Hadis. Metode
takhrij mudah untuk dipahami sehingga mudah diterapkan oleh siapa saja.
Selamat mencoba. Wal-Lahu a’lam.[]
EmoticonEmoticon