Kontributor: Saiful Ulum
Pasukan Laut - Perkembangan zaman dengan segala
problematikanya yang semakin hari semkin kompleks menuntut penguasaan hukum
syariat yang lebih mendalam untuk menjawabnya. Pendalaman hukum syariat yang,
mungkin, hanya dapat dieralisasikan dengan penguasaan ilmu Fikih yang tertuang
dalam kitab-kitab klasik, bukanlah hal yang mudah dilakukan bak membalik
telapak tangan. Dengan banyaknya permasalahan yang terkandung dalam fikih yang
kadang oleh sang pengarang dengan panjang membuat disiplin ilmu yang satu ini
mempunyai koleksi buku atau kitab yang berjilid-jilid. Kita sebut saja al-Majmu’
karangan Imam an-Nawawi yang mencapai 23 jilid dengan rata-rata ketebalan
perjilid mencapai 400 halaman. Belum lagi kitab-kitab yang lain.
Tapi semua masalah yang terkandung dalam
fikih yang mencapai berjuta-juta jilid bisa terangkum dalam hanya beberapa
halaman formulasi hukum fikih yang lebih dikenal di kalangan pesantren dengan
nama Kaidah Fikih. Kaidah Fikih bagaikan rangkuman dari bermacam-macam
permasalahan fikih menjadi angin segar untuk mempelajari fikih dengan cara yang
mudah dan tepat.
Kaidah fikih merupakan klasifikasi dari
berbagai macam persoalan fikih dengan menggunakan kata-kata yang ringkas dan
mudah diingat. Bahkan ada sebagian ulama yang menyatakan bahwa seseorang yang
mempelajari ilmu fikih tapi tidak menguasai kaidah fikih bisa dikatakan
penguasaan fikihnya tidak sempurna dan masih kurang.
Tapi, banyak dari para pelajar yang tidak
tahu dengan jelas dan pasti apa itu kaidah fikih? Mengapa harus belajar kaidah
fikih? Apa yang diperoleh seseorang yang menguasai kaidah fikih? Mungkin ini
pertanyaan yang kerapkali terbesit di benar kita ketika mempelajari kaidah
fikih.
Definisi
Secara etimologis, kaidah memiliki arti
dasar, pondasi atau fundamen segala sesuatu. Dengan demikian, apabila dalam
literatur Arab terdapat kalimat qawa’idul-bait maka yang dimaksud adalah
pondasi rumah. Jadi, bisa dikatakan bahwa kaidah fikih adalah dasasr dari fikih
dengan berdasarkan arti etimologi ini.
Sedangkan ditilik dari segi terminologi,
terdapat beragama statemen dari kalangan fuqaha dalam mendefinisikannya.
Tajuddin as-Subuki (w. 771) mendefinisikan kaidah fikih sebagai rumusan hukum
yang bersifat universal (kulliyyat) yang mampu merangkum segala macam
persoalan furu’iyyah tanpa terkecuali, serta memiliki fungsi untuk
mengetahui status hukum persoalan yang serupa. Sementara menurut al-Hamawi (w.
1098 H) kaidah fikih ialah kerangka hukum yang bersifat mayoritas (aktsariyah
/ aghlabiyyah) yang mencakup beberapa permasalahan fikih dan berfungsi
mengetahui status hukumnya.
Manfaat Mempelajari Kaidah Fikih
Di antara manfaat mengetahui kaidah fikih
adalah kita tidak akan kesulitan untuk mengetahui esensi fikih, dasar-dasar
hukumnya, serta sejumlah rahasia yang terkandung di dalamnya. Di samping itu,
kaidah fikih yang mudah untuk dihafal, dapat membantu kita dalam melakukan ilhaq
(analogi), takhrij untuk mengetahui hukum dari berbagai persoalan
baru yang semakin hari semakin membengkak dan budaya masyarakat yang belum
tertuang dalam kitab-kitab fikih klasik.
Di konteks yang sama, dengan ungkapan yang
cukup al-Qarafi menuturkan, “Barang siapa yang menguasai fikih disertai dengan
kaidah-kaidah (kulliah-nya), maka iatidak perlu bersusah payah untuk
menghafal hukum-hukum juz’iyyah, karena semuanya sudah tercakup dalam
kaidah tersebut.”
Dalam Dirasah wa Tahqiqil-Kitab al-Qawa’id,
Abdurrahman bin Abdullah asy-Sya’lani menyatakan dengan lebih gamblang
bahwa terdapat enam keistimewaan dalam mempelajari kaidah fikih. Pertama, dengan
ungkapan yang ringkas dan padat, kaidah fikih mudah dipelajari dan dihafal oleh
siapapun sehingga dimungkinkan seseorang tidak mengalami kesulitan untuk
mengetahui hukum-hukum furu’iyah (cabang) yang tak terhitung jumlahnya
walaupun masih tetap harus mempelajari hukum-hukum furu’iyyah. Senada dengan
asy-Sya’lani, yaitu ungkapan Imam az-Zarkasyi, “Bahwa menguasai beragam
persoalan dengan satu studi yang integral akan lebih mudah dihafal dan dikuasai”.
Kedua, dengan menguasai kaidah fikih, kita akan mudah
mengetahui disparitas maupun persamaan antara satu persoalan dengan yang
lainnya tanpa harus dibingungkan dengan kontradiksi hukum dalam persoalan
tersebut. Diakui atau tidak, dalam benak kita sering timbul tanda tanya: kenapa
hukum A berbeda dengan hukum B padahal secara implisit keduanya memiliki
karakter yang serupa? Hal itu akan terjawab bila kita menguasai betul kaidah
fikih.
Ketiga, kaidah fikih ibarat sebuah alat bantu bagi kita
untuk mengetahui status hukum dari pelbagai kasus yang sedang bergulir dan
belum pernah terjadi sebelumnya atau belum terjawab oleh para pakar tempo dulu.
Berkenaan dengan ini, Ibnu Najim
mengatakan, “Kaidah fikih mampu mengantarkan seorang fakih untuk
mencapai derajat ijtihad kendati hanya pada taraf ijtihad fatwa”. Namun dengan
catatan, bisa menguasai secara paripurna atau dengan artian mengerti
dalil-dalil asalnya, serta berbagai kasus yang tercakup dan yang dikecualikan.
Keempat, kaidah fikih dapat membantu kita untuk mengerti
tujuan-tujuan fundamental dari syariat Islam (maqashid syariah). Sebab,
apabila kita hanya mempelajari hukum dari persoalan secara juz’iyyah (parsial-partikular)
maka terasa sulit sekali untuk mengetahui hal tersebut, sementara di dalamnya
masih terdapat nilai krusial yang belum kita ketahui. Akan tetapi, ketika kita
menguasai kaidah fikih semisal al-masyaqqah tajlibut-taysir (kesulitan
akan menyebabkan kemudahan hukum), maka kita akan mengerti bahwa syariat Islam
menawarkan kemudahan pada penganutnya dan bukan sebaliknya.
Kelima, kaidah fikih mudah dipelajari dan diaplikasikan
dalam kehidupan sehari-hari karena merupakan disiplin ilmu yang bersifat
terbuka.
Keenam, dengan mempelajari kaidah fikih sama halnya dengan
mempelajari fondasi yang menyanggah bangunan hukum fikih, hanya saja kaidah
fikih menggiring hukum juz’iyyah pada kaidah kulliyyah, sementara
ilmu yang lain sebaliknya.
Sebenarnya masih banyak manfaat yang
terkandung dalam kaidah fikih, namun dengan pemaparan di atas, setidaknya kita
telah mengetahui beberapa faidah dan manfaat dari kaidah fikih. Sebagai penutup
dari tulisan ini, alangkah baiknya bila kita merenungi ungkapan al-Qarafi, “Barangsiapa
yang menguasai furu’ (cabang) fikih dengan telaah parisal-partikular
tanpa menggunakan kaidah-kaidah universalnya, maka ia akan banyak menemukan
perbedaan dan kontradiksi, jiwanya akan gundah gulana dalam memikirkannya. Pada
gilirannya, ia menjadi putus asa. Ia harus menghadapi berbagai macam persoalan
yang tak ada ujung pangkalnya sedangkan umurnya habis sebelum ia mendapatkan
apa yang ia cita-citakan. Dan tidak akan pernah puas dengan apa yang ia
inginkan, bahkan bisa berakibat pada putus harapan”.[]
EmoticonEmoticon