Tuesday, February 14, 2017

Kontroversi dan Perdebatan Ilmu Tajwid


Pasukan Laut

“Rasm ‘Utsmani masih menimbulkan banyak dilema. Model tulisannya sulit dibaca. Para ulama menciptakan ilmu tajwid sebagai solusi utamanya”

Menurut Abu Ahmad al-‘Askari (w. 382 H), Mushaf Utsmani telah dibaca lebih dari empat puluh tahun, yaitu sejak Khalifah Utsman sampai pada masa Khilafah Abdul Malik. Uniknya, meski tertulis tanpa titik dan tanpa harakat, Mushaf Utsmani bisa dibaca oleh individual Arab. Hanya saja mereka cenderung membacanya memakai insting dan nalar menurut karakter dan watak mereka masing-masing, sehingga hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan dalam bacaan al-Qur’an.

Di antara penyebab utamanya adalah banyaknya imigran ke tanah Arab yang tidak paham cara baca literatur Arab. Sebab itulah, para ulama–dan pada akhir abad ketiga hijriyah–berusaha mewujudkan Ilmu Tajwid sebagai petunjuk untuk memudahkan dan mengatur tata baca al-Qur’an agar autentitas al-Qur’an (Mushaf Utsmani) yang saat itu tertulis tanpa titik dan harakat tidak mengalami distorsi karena cara baca yang berbeda.

Lakon Para Pencipta
Ziad, penguasa Bashrah saat itu meminta Abu Aswad ad-Du’ali (w. 69 H/688 M) untuk membuat tanda-tanda cara baca al-Qur’an. Abu Aswad ad-Du’ali tak memperdulikannya. Tapi setelah ia mendengar seseorang membaca ayat ketiga surah at-Taubah dengan salah,

إِنَّ اللهَ بَرِيْئٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ وَرَسُوْلُه

Orang tersebut membaca jar huruf lam-nya lafal rasuluh menjadi rasulih dengan meng-athaf-kannya kepada lafal al-musyrikin, yang sejatinya harus dibaca dhammah, sehingga mempunyai arti Allahsubahana-Hu wata’alaterlepas dari kaum musyrik dan dari Rasul-Nya. Maka, Abu Aswad ad-Du’ali berubah pikiran dan mau menerima permintaan penguasa Bashrah itu.

Akhirnya, Abu Aswad ad-Du’ali berhasil membuat tanda-tanda untuk al-Qur’an. Tanda itu antara lain adalah: fathah yang disimbolkan dengan satu titik berada di atas huruf, kasrah yang disimbolkan dengan satu titik dan berada di bawah huruf, dhammah yang disimbolkan satu titik dan berada di tengah huruf, dan sukun disimbolkan dengan dua titik dan berada di atas huruf. Menurut pendapat lain, di samping itu, Abu Aswad ad-Du’ali juga membuat tanda tanwin.

Ada banyak versi mengenai siapa yang memerintahkan Abu Aswad ad-Du’ali untuk membuat beberapa tanda al-Qur’an. Menurut sebagian ulama, yang memerintahkan adalah Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Menurut pendapat yang lain, adalah Sahabat Ali.

Setelah itu, kerangka penulisan al-Qur’an berkembang pesat dari generasi ke generasi. Mereka saling berlomba untuk menciptakan ilmu untuk mempermudah membaca al-Qur’an. Kemudian, ilmu-ilmu itu dikenal dengan ilmu Tajwid. Misalnya adalah Yahya bin Ya’mar (w. 90 H / 708 M). Nasr bin ‘Ashim al-Laithi (w. 100 H/718 M) yang dikenal sebagai peletak tanda ‘ain yang ada pada setiap hitungan 10 ayat al-Qur’an dan tanda kha’ yang ada pada setiap hitungan lima ayat al-Qur’an. Khalil bin Ahmad (w. 170 H / 186 M) yang dikenal sebagai pengarang ilmu ‘Arudh. Ia menghadirkan tanda hamzah, tasydid, raum, dan isymam. Di antaranya lagi adalah Sahl bin Muhammad yang dikenal dengan Hatim as-Sajsatani, ulama ahli bahasa di masanya. Ia menulis beberapa bentuk titik dan harakat dalam al-Qur’an. Di samping itu masih banyak lagi beberapa ulama yang berlomba membuat tanda-tanda  dalam al-Qur’an. Dan lain sebagainya.

Dan untuk lebih memudahkan dalam membaca dan menghafal al-Qur’an, para ulama mengklasifikasi al-Qur’an menjadi tiga puluh juz. Lalu setiap satu juz dibagi lagi menjadi dua hizib. Dan satu persatu hizib juga dibagi menjadi empat seperempat. Di samping itu, para ulama juga membuat tanda-tanda untuk al-Qur’an, seperti tanda mad, waqaf, nama-nama surat yang disertai dengan penjelasan status suratnya: apakah madani atau makki. Begitu juga ulama memberi nomor di setiap ayat al-Qur’an.

Antara Ia dan Tidak
Konon, memperbagus al-Qur’an dengan memberi macam-macam tanda atau yang lainnya sangat dipertentangkan oleh sebagian ulama. Hujjahnya adalah perkataan Abdullah bin Mas’ud. Ibnu Mas’ud berkata, “Murnikan al-Qur’an dan janganlah dicampur dengan sesuatu”.

Namun, Abu Abdullah Husain bin Hasan al-Halimi al-Jarjani berargumen bahwa penulisan a’har (pemberian makra’ pada setiap sepuluh ayat), akhmas (pemberian makra’ dalam setiap lima ayat), memberi nama surat, dan memberi nomor di setiap ayat atau menghitung ayat, itu tidak bagus. Alasannya tetap bertendensi pada perkataan Abdullah bin Mas’ud. Alasan lainnya, karena kebanyakan orang menganggap bahwa memberi tanda dalam al-Qur’an termasuk suatu tindakan bid’ah.

Menurut sebagian pendapat, bahwa pemberian titik dalam al-Qur’an tidak dapat merusak keotentikan al-Qur’an, karena titik merupakan suatu tanda car abaca yang memudahkan pada si pembaca al-Quran. Akhirnya, memberi tanda titik diperbolehkan dan selain tanda titik tetap dilarang hingga pada abad ke-5 hijriyah.

Menurut Imam Abu Amar ad-Dani (w. 444 H) dalam kitab al-muhkam-nya, larangan memberi tanda selain tanda titik merupakan suatu hal yang aneh, karena orang yangmelarang masih menggunakan titik sebagai ganti dari harakat. Imam ad-Dani sendiri mengakui perbedaan antara nash al-Qur’an yang berharakat dan yang tidak. Atau memberi titik dengan warna hitam, mengumpulkan beberapa bacaan al-Qur’an dalam satu mushaf meski memakai warna-warni tulisan. Alasannya karena tindakan seperti itu sangat mendistorsi dan mencampur al-Qur’an. Contohnya harakat, tanwin, tasydid, sukun, dan mad yang ditulis dengan warna merah. Sedangkan hamzah ditulis menggunakan warna kuning.

Pada perjalanan selanjutnya, memberi tanda dalam al-Qur’an diperbolehkan. Alasannya karena hal itu sangat dibutuhkan. Setelah dicemati lagi, jika al-Qur’an ditulis tanpa tanda-tanda bisa menyebabkan salah fatal dalam membaca al-Qur’an. Menurut Imam an-Nawawi yang disadur dalam kitab at-Tibyan, bahwa titik dan harakat  dalam al-Qur’an itu disunnahkan, karena untuk menghindar dari salah baca dan salah tulis. Sedangkan Imam as-Sa’bi dan Imam an-Nakha’I tidak menyetujui hal itu, karena takut mengubah keotentikan al-Qur’an.

Nyanian Tinta
Karena zaman semakin berkembang, maka para ulama juga dituntut untuk mengembangkan ilmu al-Qur’an, khususnya dalam bidang ilmu Tajwid. Bentuk karyanya pun bervariasi. Ada yang berbentuk qashidah. Contohnya adalah ilmu Tajwid karya Abi Mazahim al-Khaqani (w. 325 H), qashidah matnu al-Jazariyah, karya Ibnu al-Jazari , Tuhfatul-Athfal karya Sulaiman al-Jamzuri, ‘Umdatul-Majid wa ‘Iddatul-Mustafid fi Ma’rifatit-Tajwid, karya Abu Hasan Ali bin Muhammad as-Sakhawi (w. 643 H), Harzul-Amani wa Wajhut-Tahani yang berjumlah 1173 bait, ‘Aqilatut-Tirabi al-Qasha’id fi Asnayil-Maqashid fi ‘Ilmir-Rasm, karya Imam Qasim bin Fayrah bin Half asy-Syatibi (w. 538 H), dan lain sebagainya.

Ada juga ulama yang mengarang ilmu Tajwid dalam bentuk qira’ah, seperti yang dikarang oleh Abu Qasim bin Salam (w. 224 H), Abu Amr Hafshah bin Umar ad-Dauri (w. 246 H), Abu Bakar bin Mujahid al-Baghdadi (w. 324 H), Abu Amr Ustman bin Said ad-Dani (w. 444 H) yang banyak berkarya dalam ilmu Tajwid, seperti Jami’ul-Bayan fi as-Sab’i, Kitabut-Taysir, Kitabul-Iqtishad fi as-Sab’i, Kitabul-Ijaz al-Bayan fi Qira’ati-Tiwars, al-Maqna’ fir-Rasm, Kitabul-Muhtawi fi al-Qira’ati asy-Syawadz, Thabaqatul-Qurra’, Kitabul-Waqfi wal-Ibtida’, Kitabul-‘Adad, Kitabut-Tamhid fi Harfi Nafi, Kitab al-Maudhu’ fil-Fathi wal-Imalah, Kitabut-Tajdid wal-Itqan, dan lain sebagainya.


Begitu juga Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Jazari (w. 833 H) yang juga banyak berkarya dalam fan ilmu Tajwid, dan masih banyak lagi ulama yang tak mungkin disebutkan satu persatu dalam artikel ini.[]


EmoticonEmoticon