Pasukan Laut
“Rasm ‘Utsmani masih menimbulkan banyak dilema. Model tulisannya sulit dibaca. Para ulama menciptakan ilmu tajwid sebagai solusi utamanya”
Menurut Abu Ahmad al-‘Askari (w. 382 H), Mushaf Utsmani telah dibaca lebih dari empat puluh tahun, yaitu sejak Khalifah Utsman sampai pada masa Khilafah Abdul Malik. Uniknya, meski tertulis tanpa titik dan tanpa harakat, Mushaf Utsmani bisa dibaca oleh individual Arab. Hanya saja mereka cenderung membacanya memakai insting dan nalar menurut karakter dan watak mereka masing-masing, sehingga hal ini menyebabkan terjadinya perbedaan dalam bacaan al-Qur’an.
Di antara penyebab utamanya adalah
banyaknya imigran ke tanah Arab yang tidak paham cara baca literatur Arab.
Sebab itulah, para ulama–dan pada akhir abad ketiga hijriyah–berusaha
mewujudkan Ilmu Tajwid sebagai petunjuk untuk memudahkan dan mengatur tata baca
al-Qur’an agar autentitas al-Qur’an (Mushaf Utsmani) yang saat itu tertulis
tanpa titik dan harakat tidak mengalami distorsi karena cara baca yang berbeda.
Lakon Para Pencipta
Ziad, penguasa Bashrah saat itu meminta
Abu Aswad ad-Du’ali (w. 69 H/688 M) untuk membuat tanda-tanda cara baca al-Qur’an.
Abu Aswad ad-Du’ali tak memperdulikannya. Tapi setelah ia mendengar seseorang
membaca ayat ketiga surah at-Taubah dengan salah,
إِنَّ اللهَ بَرِيْئٌ مِنَ المُشْرِكِيْنَ
وَرَسُوْلُه
Orang tersebut
membaca jar huruf lam-nya lafal rasuluh menjadi rasulih
dengan meng-athaf-kannya kepada lafal al-musyrikin, yang
sejatinya harus dibaca dhammah, sehingga mempunyai arti Allah–subahana-Hu wata’ala–terlepas dari kaum musyrik dan
dari Rasul-Nya. Maka, Abu Aswad ad-Du’ali berubah pikiran dan mau menerima
permintaan penguasa Bashrah itu.
Akhirnya,
Abu Aswad ad-Du’ali berhasil membuat tanda-tanda untuk al-Qur’an. Tanda itu
antara lain adalah: fathah yang disimbolkan dengan satu titik berada di
atas huruf, kasrah yang disimbolkan dengan satu titik dan berada di
bawah huruf, dhammah yang disimbolkan satu titik dan berada di tengah
huruf, dan sukun disimbolkan dengan dua titik dan berada di atas huruf. Menurut
pendapat lain, di samping itu, Abu Aswad ad-Du’ali juga membuat tanda tanwin.
Ada banyak
versi mengenai siapa yang memerintahkan Abu Aswad ad-Du’ali untuk membuat
beberapa tanda al-Qur’an. Menurut sebagian ulama, yang memerintahkan adalah
Khalifah Abdul Malik bin Marwan. Menurut pendapat yang lain, adalah Sahabat
Ali.
Setelah itu,
kerangka penulisan al-Qur’an berkembang pesat dari generasi ke generasi. Mereka
saling berlomba untuk menciptakan ilmu untuk mempermudah membaca al-Qur’an.
Kemudian, ilmu-ilmu itu dikenal dengan ilmu Tajwid. Misalnya adalah Yahya bin
Ya’mar (w. 90 H / 708 M). Nasr bin ‘Ashim al-Laithi (w. 100 H/718 M) yang
dikenal sebagai peletak tanda ‘ain yang ada pada setiap hitungan 10 ayat
al-Qur’an dan tanda kha’ yang ada pada setiap hitungan lima ayat al-Qur’an.
Khalil bin Ahmad (w. 170 H / 186 M) yang dikenal sebagai pengarang ilmu ‘Arudh.
Ia menghadirkan tanda hamzah, tasydid, raum, dan isymam. Di
antaranya lagi adalah Sahl bin Muhammad yang dikenal dengan Hatim as-Sajsatani,
ulama ahli bahasa di masanya. Ia menulis beberapa bentuk titik dan harakat
dalam al-Qur’an. Di samping itu masih banyak lagi beberapa ulama yang berlomba
membuat tanda-tanda dalam al-Qur’an. Dan
lain sebagainya.
Dan untuk
lebih memudahkan dalam membaca dan menghafal al-Qur’an, para ulama
mengklasifikasi al-Qur’an menjadi tiga puluh juz. Lalu setiap satu juz dibagi
lagi menjadi dua hizib. Dan satu persatu hizib juga dibagi menjadi empat
seperempat. Di samping itu, para ulama juga membuat tanda-tanda untuk al-Qur’an,
seperti tanda mad, waqaf, nama-nama surat yang disertai dengan
penjelasan status suratnya: apakah madani atau makki. Begitu juga
ulama memberi nomor di setiap ayat al-Qur’an.
Antara Ia
dan Tidak
Konon,
memperbagus al-Qur’an dengan memberi macam-macam tanda atau yang lainnya sangat
dipertentangkan oleh sebagian ulama. Hujjahnya adalah perkataan Abdullah bin
Mas’ud. Ibnu Mas’ud berkata, “Murnikan al-Qur’an dan janganlah dicampur dengan
sesuatu”.
Namun, Abu
Abdullah Husain bin Hasan al-Halimi al-Jarjani berargumen bahwa penulisan a’har
(pemberian makra’ pada setiap sepuluh ayat), akhmas (pemberian
makra’ dalam setiap lima ayat), memberi nama surat, dan memberi nomor di
setiap ayat atau menghitung ayat, itu tidak bagus. Alasannya tetap bertendensi
pada perkataan Abdullah bin Mas’ud. Alasan lainnya, karena kebanyakan orang
menganggap bahwa memberi tanda dalam al-Qur’an termasuk suatu tindakan bid’ah.
Menurut
sebagian pendapat, bahwa pemberian titik dalam al-Qur’an tidak dapat merusak
keotentikan al-Qur’an, karena titik merupakan suatu tanda car abaca yang memudahkan
pada si pembaca al-Quran. Akhirnya, memberi tanda titik diperbolehkan dan
selain tanda titik tetap dilarang hingga pada abad ke-5 hijriyah.
Menurut Imam
Abu Amar ad-Dani (w. 444 H) dalam kitab al-muhkam-nya, larangan memberi
tanda selain tanda titik merupakan suatu hal yang aneh, karena orang
yangmelarang masih menggunakan titik sebagai ganti dari harakat. Imam
ad-Dani sendiri mengakui perbedaan antara nash al-Qur’an yang berharakat dan
yang tidak. Atau memberi titik dengan warna hitam, mengumpulkan beberapa bacaan
al-Qur’an dalam satu mushaf meski memakai warna-warni tulisan. Alasannya karena
tindakan seperti itu sangat mendistorsi dan mencampur al-Qur’an. Contohnya harakat,
tanwin, tasydid, sukun, dan mad yang ditulis dengan warna merah.
Sedangkan hamzah ditulis menggunakan warna kuning.
Pada
perjalanan selanjutnya, memberi tanda dalam al-Qur’an diperbolehkan. Alasannya karena
hal itu sangat dibutuhkan. Setelah dicemati lagi, jika al-Qur’an ditulis tanpa
tanda-tanda bisa menyebabkan salah fatal dalam membaca al-Qur’an. Menurut Imam
an-Nawawi yang disadur dalam kitab at-Tibyan, bahwa titik dan harakat
dalam al-Qur’an itu disunnahkan,
karena untuk menghindar dari salah baca dan salah tulis. Sedangkan Imam as-Sa’bi
dan Imam an-Nakha’I tidak menyetujui hal itu, karena takut mengubah keotentikan
al-Qur’an.
Nyanian
Tinta
Karena zaman
semakin berkembang, maka para ulama juga dituntut untuk mengembangkan ilmu
al-Qur’an, khususnya dalam bidang ilmu Tajwid. Bentuk karyanya pun bervariasi.
Ada yang berbentuk qashidah. Contohnya adalah ilmu Tajwid karya Abi
Mazahim al-Khaqani (w. 325 H), qashidah matnu al-Jazariyah, karya Ibnu
al-Jazari , Tuhfatul-Athfal karya Sulaiman al-Jamzuri, ‘Umdatul-Majid
wa ‘Iddatul-Mustafid fi Ma’rifatit-Tajwid, karya Abu Hasan Ali bin Muhammad
as-Sakhawi (w. 643 H), Harzul-Amani wa Wajhut-Tahani yang berjumlah 1173
bait, ‘Aqilatut-Tirabi al-Qasha’id fi Asnayil-Maqashid fi ‘Ilmir-Rasm, karya
Imam Qasim bin Fayrah bin Half asy-Syatibi (w. 538 H), dan lain sebagainya.
Ada juga
ulama yang mengarang ilmu Tajwid dalam bentuk qira’ah, seperti yang
dikarang oleh Abu Qasim bin Salam (w. 224 H), Abu Amr Hafshah bin Umar ad-Dauri
(w. 246 H), Abu Bakar bin Mujahid al-Baghdadi (w. 324 H), Abu Amr Ustman bin
Said ad-Dani (w. 444 H) yang banyak berkarya dalam ilmu Tajwid, seperti Jami’ul-Bayan
fi as-Sab’i, Kitabut-Taysir, Kitabul-Iqtishad fi as-Sab’i, Kitabul-Ijaz
al-Bayan fi Qira’ati-Tiwars, al-Maqna’ fir-Rasm, Kitabul-Muhtawi fi al-Qira’ati
asy-Syawadz, Thabaqatul-Qurra’, Kitabul-Waqfi wal-Ibtida’, Kitabul-‘Adad, Kitabut-Tamhid
fi Harfi Nafi, Kitab al-Maudhu’ fil-Fathi wal-Imalah, Kitabut-Tajdid wal-Itqan,
dan lain sebagainya.
Begitu juga
Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Jazari (w. 833 H) yang juga banyak
berkarya dalam fan ilmu Tajwid, dan masih banyak lagi ulama yang tak mungkin
disebutkan satu persatu dalam artikel ini.[]
EmoticonEmoticon