Sunday, January 29, 2017

Inilah Alasan Kenapa Kita Harus Mulai Berbisnis dan Berhenti Menjadi Karyawan

Lelah mengguyur tubuh malam itu. Bagaimana tidak? Pada pagi hari, saya berangkat ke kampus untuk kuliah hingga sore, dan setelah itu, saya mesti berangkat kerja di salah satu perusahaan yang berfokus pada penjualan fashion wanita, sebagai Customer Service Online (CSO). Kerja yang dimulai pada pukul 16.00 ini, rampung pada tengah malam pukul 24.00 (8 jam). Setelah satu bulan bekerja di perusahaan itu dan saya memperoleh gaji, saya langsung resign. 


Setidak-tidaknya ada beberapa alasan mengapa saya berhenti menjadi karyawan di perusahan itu. Pertama, karena job yang dibebankan pada saya di tempat kerja, monoton atau tidak ada ragamnya. Saya pun bosan dan jemu. Kedua, karena waktu saya semakin padat: pada pagi dan siang hari, saya bersekolah (baca: berkuliah), dan pada sore dan malam hari saya mesti “bersekolah” lagi.
Ketiga, ruh saya sulit untuk menyatu dengan ruh-ruh para kolega saya. Saya melihat bahwa mereka akan “galau” jika tidak memperoleh penghasilan. Sedangkan saya “galau” jika saya tidak memperoleh perkembangan intelektual; mereka pekerja, sedangkan saya pelajar. Keempat, saya mengorbankan delapan jam, yang merupakan tempo yang relatif lama dan amat berharga dalam sehari (24 jam), dengan sesuatu yang tidak sebanding dengan apa yang saya peroleh, dalam hal ini ialah gaji, bahkan kendatipun seandainya gaji yang saya terima lima kali lipat. Kelima, aktivitas akademik saya tidak jarang terganggu dan terbengkalai gara-gara profesi karyawan ini. Akibatnya, nilai dan IPK yang saya peroleh pada akhir semester tidak sesuai harapan.
Oleh karena itu, urgen untuk menemukan jalan keluar di tengah “kehausan” akan perolehan pendapatan dan perkembangan intelektual. Jalan keluar tersebut ialah bisnis start up. Bisnis berbau teknologi yang baru di bangun. Hal ini setidaknya karena beberapa hal berikut.
Pertama, mahasiswa dan teknologi tidak dapat dipisahkan. Semua mahasiswa pasti mengoperasikangadget dan komputer untuk memenuhi segala kebutuhan mereka, baik kebutuhan akademik, kebutuhan finansial, kebutuhan sosial, dan sebagainya. Kedua, bisnis start up bisa dibangun dengan modal kecil, bahkan, menjadi dropshipper misalnya, justru bisa tanpa modal. Dengan gadget, ia dapat memasarkan dan mempromosikan produknya.
Ketiga, segmentasi pasar yang dekat dan mudah: di sela-sela ia berinteraksi dengan teman-teman sejawat di kampus, ia bisa mencatut mereka sebagai konsumen utama. Syukur jika ternyata ekspansi pasarnya meluas di luar kampus. Keempat, kemungkinan untuk mengganggu waktu belajar dan waktu-waktu berharga lainnya, relatif kecil–untuk tidak mengatakan tidak sama sekali. Kelima, siapa nyana, dengan bisnis kecil yang ditekuni, suatu saat bisa berkembang dan maju. Bukankah, kata Syafii Antonio melalui akun Twitternya, “Pencapaian besar dimulai dari langkah yang kecil”?
Berdasarkan ihwal di atas, bisnis start up semakin menemukan space untuk mahasiswa–sebagai penuntut ilmu–lakoni. Dia bisa meringankan beban orang tua. Dia juga bisa memperoleh pengalaman bagaimana mengelola bisnis yang baik. Maka, daripada berpendapatan tetapi mengganggu kuliah kita, mengapa tidak mencoba melakoni bisnis start up saja?


EmoticonEmoticon