Sunday, January 29, 2017

Pendidikan Salaf Menjadi Harga Mati

Tags

Peliput dan Kontributor: Ahmad Fauzan AF

Nama lembaga: Pondok Pesantren al-Ihsan as-Salafi ● Alamat: Kerpangan Leces Probolinggo ● Tahun berdiri: 1835 M. ● Jumlah santri: 493 ● Jenjang Pendidikan: Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Tsanawiyah ● Pendiri: Kiai Muhammad Arif ● Pengasuh saat ini: KH. Faishol Zaini

Tidak sedikit pesantren yang jatuh lunglai dalam dekapan pemerintah, sehingga status pun harus berubah, dari pesantren salaf menjadi pesantren modern. Kondisi ekonomi yang minus membuat pesantren kehilangan orientasinya, karena otoritas telah diintervensi oleh pihak lain di luar pesantren.

Pondok Pesantren al-Ihsan adalah salah satu figur pesantren yang tidak tergoda oleh menu-menu formalitas yang serasa terlihat lezat itu. Sejak setengah abad yang lalu, pesantren yang berlokasi di daerah Kerpangan, Leces, Probolinggo ini, tetap mandiri dan tidak menanggalkan status kesalafannya. Pesantren ini diliput agar menjadi cermin bagi pesantren lain.

Maka, pada 02 Muharram 1434 H, kami bersilaturrahim ke pesantren ini. Sekitar pukul 8 malam, kami tiba di depan pintu gerbang dan mendapati santri dengan pakaian serba putih sedang mengikuti kegiatan ajian kitab kepada Pengasuh. Kedatangan kami langsung disambut hangat dan ramah oleh seorang pengurus pesantren.

Berawal dari Majelis Taklim
Terdapat sebuah musalla sederhana di Desa Jorongan yang menjadi tumpu pendidikan sentral masyarakat di sana. Musalla ini didirikan pada 1835 M, oleh nenek moyang dari Kiai Hasan Jazuli. Beliau adalah santri Pondok Pesantren Sidogiri. Semasa di PPS, beliau banyak berkhidmah kepada Kiai Cholil Nawawie. Pada tahun 1950, beliau keluar (boyong) dari PPS. Orangtuanya hendak menikahkannya dengan putri Kiai Muhammad Arif. Keluarga Kiai Muhammad Arif ini berasal dari Desa Kerpangan, sebuah desa yang letaknya tidak begitu jauhdari Desa Jorongan.

Di desa ini, Mbah Arief mempunyai sebuah majelis taklim yang diisi dengan pengajian kepada masyarakat sekitar. Beliau oun memasrahkan majelis ini kepada Kiai Hasan Jazuli, menantunya itu. Semenjak otoritas dipegang oleh Kiai Hasan, majelis mulai tampak sebagai pesantren di mata masyarakat. Meskipun ketika itu hanya berupa bilik-bilik sempit berukuran dua meter persegi. Sedikit demi sedikit masyarakat berdatangan untuk mengaji. Pesantren ink diberi nama al-Ihsan as-Salafi.

Setelah Kiai Hasan wafat, kepemimpinan pesantren dilanjutkan oleh penerus-penerus beliau. Seiring berjalannya waktu, al-Ihsan berkembang dan semakin dikenal oleh masyarakat hingga ke Daerah Probolinggo, Lumajang, Jember, dan Madura. Hal ini karena kiprah Kiai Hasan Jazuli yang sangat memperhatikan pengabdian untuk agama dan usahanya menumbuhkan antusiasme masyarakat untun memondokkan putra mereka di al-Ihsan.

Pada 01 April 1925, mulai dirintis pendidikan klasikal. Waktu itu masih segelintir murid yang belajar di madrasah ini. Dua tahun kemudian, seiring dengan kian meningkatnya murid, diresmikanlah Madrasah Ibtidaiyah dengan manajemen yang rapi dan terkoordinir. Dan pada tahun 1960, pengurus merintis Madrasah Tsanawiyah. Ketika itu, Madrasah Tsanawiyah al-Ihsan diafiliasikan dengan Madrasah Tsanawiyah Pondok Pesantren Miftahul Ulum, sebuah pesantren yang juga didirikan oleh KH. Muhammad Arif, sekitar 100 meter ke arah barat al-Ihsan. Sedangkan tingkat Ibtidaiyah tidak diafiliasi sebagaimana tingkat Tsanawiyah.

Hingga menapaki tahun 1970, murid-murid baru berdatangan semakim membludaj dan berjumlah hingga lebih dari 400 orang. Saat itulah terjadi kenaikan kualitas keilmuan.
Dua belas tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1982, Madrasah Tsanawiyah yang diafiliasi ini dilerai. Murid pun dibagi dua. Sebagian di al-Ihsan dan sebagian yang lain di Miftahul Ulum. Sejak saat itu, pesantren al-Ihsan memberi nama baru bagi madrasahnya ini, yaitu Madrasah Miftahul Ihsan, hingga saat ini.

KH. Faishol Zaini, Pengasuh Saat ini
Tolak Status Madrasah Negeri
Dalam perjalanan al-Ihsan mempertahankan kesalafan, ada saja aral dan rintangan yang menggoda. Salah satunya adalah dana atau tunjangan dari pemerintah, dengan jaminan harus meninggalkan status kesalafan. Pada era modern saat ini, dana pemerintah adalah salah satu dari sekian aral dan rintangan itu.

Memang, al-Ihsan sempat menerima BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dari Kemenag dimulai pada tahun 2006, sebab Kemenag melihat secara kuantitas murid Madrasah Ibtidaiyah al-Ihsan paling banyam sekecamatan Leces. Sebagai pelajar Indonesia, tentu BOS menjadi hak murid. Pemerintah saat itu memang tidak begitu mengekang. Al-Ihsan bebas mengatur dan menggerakkan pendidikannya tanpa campur tangan pihak lain.

Akan tetapi, menapaki tahun 2010, Majelis Keluarga Pondok Pesantren al-Ihsan merasa terusik dengan adanya bantuan dana tersebut. Hal ini disebabkan ada tuntutan mengubah status Madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah menjadi madrasah negeri disertai tambahan kurikulum pelajaran umum. Majelis Keluarga terganggu. Seringkali pengurus pengelola pendidikan al-Ihsan membuat laporan-laporan fiktif dan palsu mengenai jumlah murid, pendidikan, dan kurikulum pelajaran kepada Kemenag.

Majelis Keluarga pun berembuk dan bermusyawarah, yang akhirnya melahirkan sebuah keputusan bulat: al-Ihsan tetap menerima dana BOS asalkan pemerintah tidak menuntut perubahan kurikulum dan pendidikan salaf yang ada.

Ketika Kemenag mengunjungi al-Ihsan untuk meminta keterangan, Majelis Keluarga dengan tegas menolak status madrasah negeri yang diajukan oleh Kemenag. Namun demikian pemerintah tetap akan memberikan tunjangan atas nama Madin (Madrasah Diniyah), meski jauh tidak sebanyak dana BOS sebelumnya. Hingga akhirnya, kurikulum, program, kegiatan makhadiyah dan madrasiyah Pondok Pesantren al-Ihsan secara substansial tetap seperti kali pertama berdiri, dengan teknis dan model yang berbeda sesuai dengan maqalah al-muhafazhatu 'alal-qadim ash-shalih wal-akhdu bil-jadid al-ashlah.[]


EmoticonEmoticon