Sunday, January 29, 2017

Merenungkan Hipperrealitas

Kontributor: Mashuri Alhamdulillah

Kombinasi acara televisi pada hakikatnya adalah pasar dalam dongeng 1001 malam. Ia merupakan campuran dari yang elit, kasar, sakral, profan, materiel, dangkal, cemerlang, abadi, sekaligus serba serentak.
~Garin Nugroho


Kini kita hidup di sebuah era yang terkesan kalang kabut, tetapi menarik dan nikmat untuk diikuti. Percepatan dan kecepatan informasi berlari sangat pesat, begitu pun dengan teknologi dan kecanggihan mengelilinginya, baik itu televisi, seluler, maupun internet. Setiap detik kita bisa melihat bagaimana dunia hadir mengelilingi kita, nyaris menyergap kita, meski berjarak beratus-ratus mil dari tempat kita berpijak. Bahkan kehadirannya lebih nyata daripada realitas kita sendiri. Dalam bahasa kerennya, kondisi ini disebut hipperrealitas: kenyataan yang berlebih, melebihi kenyataan itu sendiri.

Buktinya, kita dijejali berbagai realitas yang tumpah ruah, berupa informasi, berita, dan berjuta macam suguhan yang memanjakan dan merayu, mulai remeh-temeh dan sampah sampai yang super berat, yang sangat mungkin lebih nyata dari yang sebenarnya terjadi. Belum lagi sebuah informasi dari sebuah peristiwa kita kunyah, sudah muncul hal ihwal lainnya, yang mungkin lebih dramatis, tragis, dan melankolis, yang menggoda kita untuk mengikuti dan menyimaknya. Satu peristiwa lenyap tertimbun peristiwa selanjutnya dengan kecepatan yang menakjubkan.

Kondisi ini memang bermata dua. Satu sisi kita diuntungkan karena tahu banyak hal, dimanjakan dengan suguhan dari sekian kemudahan dalam mengakses informasi dan merayakan abad digital. Tetapi di sisi lain, kondisi ini menyimpan bumerang, apalagi kita secara mental belum sampai pada taraf ini dan belum siap menghadapinya. Akibatnya, kondisi ini membuat kita gagap, terbiasa dengan hal-hal yang sebenarnya dahsyat dan menghardik kesadaran kita sebagai manusia. Kita terbiasa dengan kekerasan, dengan darah, dengan sesuatu yang sebenarnya menginjak-injak nurani. Kita riskan kehilangan rasa peka, juga kehilangan perenungan, karena menganggap semua itu biasa dan akan segera berlalu. Selain itu, kita dihegemoni dengan realitas virtual, yang di negeri kita memiliki gap dengan realitas sosial. Kini kita pun tak lagi mampu memilah mana yang benar, terkait dengan jumbuhnya ruang. Lebih sederhananya, kini kita tak lagi bisa membeda mana yang desa dan mana yang kota. Segalanya seakan jumbuh , sebagaimana yang pernah ditulis Garis Nugroho, yang dinukil di awal tulisan ini.

Di sisi yang berbeda, materialisme telah merambah berbagai bidang kehidupan. Sebagai imbasnya, tolok ukur dalam menilai sesuatu pun seringkali diukur dengan materi dan komoditi. Tentu kecenderungan itu sangat membahayakan karena bisa memperkering jiwa dan membuat manusia tercerabut dari kodratnya. Namun fakta yng tergelar: hampir semua aspek kehidupan bermuara pada materi, mulai dari pemilihan kepada daerah, perjodohan, hingga hal-ihwal yang sebenarnya bertujuan untuk membangun rumah di surga dibandrol dengan materi.Yang lebih runyam, kita seakan kehilangan tauladan karena selama ini yang disuguhkan pada kita adalah tokoh-tokoh yang hampir semuanya begitu brengsek.

Dalam konteks demikian, pemahaman pada wilayah spiritual manusia menjadi sangat diperlukan, bahkan menjadi kebutuhan yang mendesak. Dalam posisi itu, kita butuh cermin. Sebenarnya, banyak hal yang bisa kita jadikan cermin. Salah satu cermin yang sudah terbukti tangguh melewati terpaan zaman adalah bacaan-bacaan yang bernas, kisah-kisah yang menyadarkan, cerita-cerita yang mengembalikan dan mengingatkan sisi kemanusiaan kita. Sehingga kita bisa menjadi sedikit demi sedikit peka dan mampu melakukan perenungan dengan lebih dalam pada peristiwa yang tergelar di depan mata.

Dalam peran yang mungkin kelewat besar itu, ada elemen lain yang memberi perhatian pada wilayah ideal. Elemen pendukung itu adalah termasuk hal-hal yang berkaitan dengan agama, khususnya pada wilayah spiritual dan religiusitasnya. Juga bidang lain yang memberi perhatian lebih pada wilayah 'batin' manusia. Toh, sudah menjadi pemahaman umum sejak zaman baheula, bahwa dalam menggapai kebenaran tertinggi, membaca (إقرا) berderet dengan agama.[]


EmoticonEmoticon