Sunday, January 29, 2017

Embriogenesis Sastra Pesantren


Kontributor: Kang Daim*
Pasukan Laut - Dalam kehidupan yang serba kompleks ini, manusia semakin merindukan keindahan. Maka, dalam rangka menemukan keindahan itu, sastra adalah muara yang paling banyak diminati. Karena, sebuah karya sastra yang penuh dengan rasa estetis mempunyai tenaga yang kuat dalam  menarik pembaca atau penikmatnya--bahkan tanpa terasa--mempengaruhi, mengubah prinsip, dan haluan keyakinan. Dengannya, orang merasa menemukan inspirasi baru atas masalah yang dihadapi. Di sinilah fungsi sastra dalam mengungkapkan sebuah makna secara estetis dan arif.
Dalam menyampaikan makna, pencipta karya sastra berusaha mengungkapkan dengan menyentuh hal yang paling urgen dalam nurani manusia: rasa dan budaya. Mereka meraciknya dengan merangkai kata-kata yang indah, cerita yang memukau perasaan, dan mengusung nilai-nilai budaya. Sehingga sebuah karya sastra selalu mudah diterima dalam kehidupan manusia. Karena sastra adalah rasa.
Selain sebagai refleksi evaluatif pengarang atas problem sosial yang terjadi di sekitarnya, karya sastra juga dipandang sebagai representatif kegelisahan sosio-kultural pengarang dalam memahami simpang-siur peristiwa yang terjadi dalam kehidupan manusia. Karenanya sastra sangat cocok jika kita posisikan sebagai alat dalam menyampaikan kebenaran dengan tanpa menggurui. Dan siapapun dapat mengambil bagian dalam hal ini. Termasuk kaum sarungan yang notabene mengusung misi amar makruf nahi mungkar. Dengan sastra, dakwah akan terasa lebih efisien dan efektif.

Akhir-akhir ini, sastra kaum sarungan sedang mengaung, merebah, dan mewabah. Kehadirannya cukup menghapus dahaga keilmuan, mampu menjadi tandingan bacaan-bacaan kontraproduktif jika dikonsumsi kalangan muslim. Sejak sebelumnya, tahun 1960-an, Jamil Suherman tercatat sebagai penulis cerpen pesantren, karena karya-karyanya sebagian besar berlatar budaya pesantren. Hingga akhir dekade sekarang, banyak sastrawan bergenre pesantren, ikut ambil bagian sebagai kreator, apresiator, dan kritikus sastra. Sebagaimana Habiburrahman El-Shirazy dan D. Zawawi Imron, dan lainnya--dengan karya-karya mereka--adalah bukti bahwa kaum sarungan bisa membuat revolusi dalam kancah kesusastraan. Di samping itu,  keberadaan media-media massa pesantren, komunitas sastra pesantren, dan penerbitan sastra pesantren adalah jalan terang untuk melangkah dalam menciptakan revolusi budaya melalui sastra.

'Ala kulli hal, kesusastraan pesantren muncul dari penulis-penulis pesantren--atau penulis bangsa pesantren--yang dengan kesadaran artistik tersendiri menggunakan "bahasa pesantren" sebagai alat pengucapan sastra. Orang-orang pesantren yang sering disuguhkan gaya berpikir metafora dari unsur-unsur sastrawi al-Qur'an, sangat potensial menciptakan karya sastra dalam rangka menyeru manusia menuju jalan Tuhan dengan hikmah dan pelajaran yang baik. Dan kita kaum santri, akankah tinggal diam menyikapi arus sastra yang kontraproduktif jika dikonsumsi oleh "saudara" kita?

Akhiran, para santri harus diberi peluang untuk membuat revolusinya sendiri. Santri bisa mengambil bagian dalam pelahiran angkatan sastra baru dengan terus menerbitkan buku-buku sastra pesantren. Sehingga bisa dibayangkan, jika buku-buku sastra pesantren semakin banyak dan membludak, bisa diprediksikan budaya pesantren akan lebih dikenal dan dirasakan di seantero nusantara, bahkan dunia.[]

*Peminat sastra yang melangsungkan rihlah ilmiahnya di Uiversitas Nahdhatul Ulama


EmoticonEmoticon